Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) memandang rencana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II perlu dilanjutkan. Sebab secara ekonomi maupun politik, dibutuhkan instrumen kebijakan yang bisa menambah, mendongkrak, bahkan menambal ekonomi nasional.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, menyebutkan ada beberapa pertimbangan yang mengharuskan kebijakan ini berlanjut. Pertama, dari sudut pandang keuangan negara, pada 2020 terjadi defisit 6,1 persen dari PDB. Pada 2021 diproyeksikan masih terjadi defisit kisaran 5,7 persen. Sedangkan 2022, adalah tahun terakhir pemerintah bisa memanfaatkan UU Nomor 2 tahun 2020, masih perlu menambal defisit APBN dengan kisaran 4,51 persen-4,85 persen.
"Tahun 2023, keuangan negara maksimal hanya bisa defisit maksimal 3 persen dari PDB. Dibutuhkan kebijakan terobosan untuk bisa membuat tren penurunan defisit ini, baik secara kebijakan ekonomi maupun kebijakan politik," katanya kepada merdeka.com, Senin (24/5).
Advertisement
Pertimbangan kedua, dari sudut pandang kebutuhan likuiditas untuk dunia usaha, serta stabilisasi supply dan demand dalam siklus ekonomi. Indonesia menurutnya, mempunyai keunggulan dengan mempunyai lebih dari 270 juta penduduk, nomor 4 besar dunia. Ini adalah local domestic demand yang menjadi penopang utama untuk Indonesia bisa rebound dengan cepat pasca pandemi.
Tetapi perputaran ekonomi ini membutuhkan likuiditas yang semakin banyak mengalir di masyarakat. Oleh karenanya tax amnesty bisa menjadi salah satu jalan aliran likuiditas tersebut. Pada tax amnesty jilid I, terjadi dana repatriasi sebesar Rp147 triliun, dan deklarasi harta sebesar Rp4.813,4 triliun.
"Dengan persiapan yang lebih matang, tax amnesty jilid II akan mendapatkan hasil yang lebih maksimal," jelasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kepastian Hukum
Kemudian pertimbangan lainnya adalah tentang kepastian hukum atas piutang pajak yang terus tercatat di sistem keuangan negara. Satu sisi ini membebani otoritas pajak, karena kesuksesan penagihan piutang pajak menjadi salah satu key performance indicator kesuksesan pengelolaan keuangan negara. Sedangkan sisi lain, dari wajib pajak, terjadi latar belakang yang terlalu complicated sehingga muncul hutang pajak tersebut.
Namun itu semua belum tentu karena kesalahan wajib pajak. Misalnya, karena wajib pajak belum menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan tidak memungut PPN, tetapi mereka ditetapkan secara jabatan dan kemudian harus membayar semua kewajiban PPN-nya. Padahal mereka tidak memungut, tetapi mereka harus setor.
"Ini adalah sekedar salah satu contoh, dari banyak latar belakang yang lain. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan sebuah jalan tengah. Misalnya ada pengurangan sanksi atau potongan pokok pajak," ujarnya.
Ajib melanjutkan, kebijakan tax amnesty ini sebenarnya juga sering diberikan oleh pemerintah daerah untuk konteks pajak daerah. Sesuai dengan kewenangan yang melekat, Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mengatur bahwa Pemda Tingkat I dan Pemda Tingkat II, mengelola Pajak Daerah. Tax Amnesty level daerah ini misalnya pemutihan pajak kendaraan bermotor, diskon pembayaran PBB, dan lain-lain.
"Dengan kontroversi yang ada, secara kepentingan nasional, tax amnesty jilid II menjadi sebuah alternatif kebijakan yang layak dilanjutkan," tandasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement