Sukses

Waduh, 10 Persen Nasabah Restrukturisasi Kredit Berpotensi Gagal Bayar

Senior Ekonom INDEF, Aviliani meminta pemerintah membuat kebijakan lanjutan pasca restrukturisasi kredit berakhir.

Liputan6.com, Jakarta Senior Ekonom INDEF, Aviliani meminta pemerintah membuat kebijakan lanjutan pasca restrukturisasi kredit berakhir. Sebab diperkirakan akan ada 10 persen pinjaman yang direstrukturisasi mengalami gagal bayar.

"Perlu ada kebijakan pasca restrukturisasi kredit berakhir karena ada potensi 10 persen yang enggak bisa ditagih dan berpotensi jadi NPL di perbankan," Aviliani dalam Peluncuran Buku Kebijakan Makroprudensial di Indonesia, Jakarta, Jumat (28/5/2021).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperpanjang kebijakan restrukturisasi hingga Maret 2022. Bila kondisi ekonomi masih belum berubah banyak, diperkirakan akan ada debitur yang gagal bayar ketika masa restrukturisasi berakhir.

"Konon ini akan memburuk pasca kebijakan relaksasi berakhir," kata dia.

Salah satu patokan yang digunakan untuk melihat potensi itu yakni masih banyak perusahaan yang belum melakukan pinjaman kepada bank. Artinya kondisi perusahaan masih belum banyak perubahan.

"Banyak perusahaan yang belum mengajukan pinjaman kembali," kata dia.

Maka pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan baru agar perusahaan tidak terjebak gagal bayar dan tidak mengganggu sektor keuangan dan ekonomi tetap tumbuh. Selain itu perlu ada skema khusus agar para debitur ini bisa tertangani ketika kebijakan relaksasi berakhir.

"Bisa dibuatkan badan yang tampung mereka dan ini agar bank tidak memiliki NPL yang besar," kata dia.

Sebab, lanjutnya, perbankan juga butuh modal yang besar saat restrukturisasi kredit selesai. Sehingga perlu ada kebijakan pasca relaksasi, agar tidak ada penurunan sistem keuangan," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

SUmber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Tren Restrukturisasi Kredit Perbankan Mulai Melandai

Restrukturisasi kredit bank terus melandai jika dihitung secara bulanan (month to month) maupun tahunan (year to year). Restrukturisasi perbankan saat ini mencapai Rp 808,75 triliun, turun dari akhir 2020 yang sebesar Rp 830,38 triliun.

Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot menjelaskan, beberapa bulan terakhir, tren restrukturisasi kredit mulai melandai. Diperkirakan perkembangan ini akan terus berlanjut.

"Melihat perkembangan dalam beberapa bulan terakhir, tren menurun diperkirakan akan terus berlanjut," kata Sekar saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Rabu (5/5/2021).

Perkembangan ini pun akan terus dipantau regulator. Data jumlah restrukturisasi kredit tersebut akan menjadi pertimbangan kebijakan selanjutnya OJK.

"Kita monitor terus perkembangannya," kata dia.

Evaluasi baru akan dilakukan menjelang selesai masa berlakunya POJK 48/POJK.03/2020 tentang perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit akibat covid-19 hingga Maret 2022. Sebab kebijakan ini terbilang baru dikeluarkan OJK.

"Akan dilihat perkembangan jumlah restrukturisasi kredit saat masa berlaku kebijakan akan berakhir. Yang pasti ini baru saja diperpanjang hingga Maret 2022," kata dia.

Sebagai informasi, OJK mencatat terjadi penurunan outstanding restrukturisasi yang terjadi di mayoritas sektor utama seperti pertanian, pengolahan, dan perdagangan. Kredit sektor pengolahan naik 22,02 persen (mtm).

Begitu juga dengan kredit sektor perdagangan naik 16,40 persen (mtm) yang diindikasikan karena persiapan menjelang Idul Fitri.

Kredit perbankan mulai meningkat di sepanjang kuartal I-2021 dengan kenaikan Rp 77,3 triliun (mtm). Ini didorong oleh kenaikan kredit modal kerja meskipun masih terkontraksi 3,77 persen (yoy).