Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus mengejar penerimaan pajak, salah satunya dengan melakukan reformasi di sektor perpajakan. Diantaranya rencana pengenaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dengan tarif tertinggi 35 persen dan terkait tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Menanggapi langkah ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan bahwa pemerintah dalam menerapkan kebijakan reformasi perpajakan akan selalu melakukan analisis mendalam. Terutama akan dilihat dampaknya terhadap perekonomian.
Baca Juga
"Jadi walaupun akan ada perubahan, itu arahnya kemana pasti dampak terhadap ekonomi selalu kita perhitungkan dengan sangat terukur," kata Febrio dalam Dialogue KITA dengan tema Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Fiskal 2022 pada Jumat (4/6/2021).
Advertisement
Ia menjelaskan bahwa pemerintah saat ini belum bisa memberikan banyak informasi terkait reformasi perpajakan ini. Hal ini lantaran semuanya masih dalam proses pembahasan.
"Nanti kalau ada detail yang bisa dishare, akan kita sampaikan," sambungnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Reformasi Berkelanjutan
Reformasi perpajakan ini, katanya, merupakan reformasi berkelanjutan. Saat ini bukan hanya perekonomian Indonesia, tapi dunia juga mengalami perubahan secara struktur. Sehingga, cara pengenaan pajak pun harus sesuai dengan perubahan struktur perekonomian tersebut.
Salah satu contohnya, pemerintah telah memperkenalkan pajak di sektor ekonomi digital.
Febrio menegaskan reformasi perpajakan yang dilakukan pun disesuaikan dengan best practice di seluruh dunia. Jadi tidak dilakukan secara sepihak.
"Jadi ini memang bagian dari proses reformasi perpajakan yang kita harapkan bisa terus kita perkuat, dan kita butuh untuk memperkuat konsolidasi fiskal kita semakin kuat bukan hanya untuk 2023, 2025 dan seterusnya, struktur perpajakan kita harus semakin sesuai dengan struktur perekonomiannya," ungkapnya.
Advertisement