Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok atau sembako. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, pun angkat suara mengenai rencana tersebut.
"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, tidak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!," demikian tulis Yustinus melalui akun Twitter @prastow, dikutip pada Kamis (10/6/2021).
Ia pun mengakui wacana kenaikan tarif PPN saat ini mendapat respons banyak pihak. Terlebih lagi, pemerintah juga berencana mengenakan PPN pada bahan pokok.
Advertisement
Yustinus memaklumi reaksi spontan publik yang marah, kaget, kecewa, atau bingung dengan rencana kenaikan tarif PPN. Kebijakan ini pun tidak akan langsung diterapkan begitu saja.
"Pemerintah, diwakili Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, di berbagai kesempatan menegaskan bahwa rancangan ini perlu disiapkan dan didiskusikan di saat pandemi, justru karena kita bersiap. Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing," jelasnya.
Maka pemerintah, katanya, mengajak para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan DPR, untuk bersama memikirkan mengenai hal ini.
"Jika saat pandemi kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak," lanjutnya.
Dijelaskannya, saat ini banyak negara berpikir melakukan optimalisasi pajak untuk keberlanjutan. Misalnya, Inggris yang juga berencana menaikan tarif PPh Badan dari 19 persen menjadi 23 persen.
Di sisi PPN, negara-negara juga memikirkan penataan ulang sistem PPN, antara lain melalui perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif. Ada 15 negara yang menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4 persen, sedangkan Indonesia masih 10 persen.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kinerja Pajak
Terkait kinerja pajak Indonesia, Yustinus mengatakan bahwa meski 5 tahun terakhir secara nominal naik, tapi belum optimal untuk membiayai banyak target belanja publik untuk transformasi lebih cepat. Terlebih 2020, karena pandemi penerimaan pajak tergerus cukup dalam, dan pemerintah justru memberikan insentif.
"Lugasnya, karena pandemi ini pengeluaran meningkat cukup tajam. Di sisi lain penerimaan tersendat. Mumpung pandemi dan pajak diarahkan sebagai stimulus, kita paralel pikirkan desain dan konsolidasi kebijakan yang menjamin sustainabilitas di masa mendatang. Pasca pandemi tentu saja," ungkapnya.
Berdasarkan kajian pemerintah, ada 24 negara dengan tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara 11-20 persen, selebihnya beragam 10 persen ke bawah.
Di antara negara-negara tersebut, katanya, ternyata banyak yang menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam. Ini selaras dengan adagium lama yaitu semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil, dan sebaliknya. "Kalau mau simpel ya bisa, tapi tidak adil," katanya.
Â
Â
Advertisement
PPN Belum Optimal
Kinerja PPN Indonesia pun saat ini belum optimal. Salah satunya karena terlalu banyak pengecualian dan fasilitas. Hal tersebut terkadang distortif dan tidak tepat, bahkan menjadi ruang penghindaran pajak.
"Saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!," twit Yustinus.
Pengaturan yang demikian, menurutnya, justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai karena yang mampu membayar justru tidak membayar karena mengonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenai PPN. Oleh sebab itu, perlu pemerintah perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN menjadi adil.
Yustinus menjelaskan bahwa komoditas yang dikonsumsi masyarakat menengah bawah seharusnya dikenakan tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi.
"Ini adil bukan? Yang mampu mensubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong," tulisnya.
Terkait pajak sembako sendiri, ia menegaskan pemerintah tidak akan menerapkannya sembarangan.
Oleh karena itu, saat ini dinilai waktu yang tepat untuk merancang dan memikirkan soal tarif pajak.
"Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1 persen. Beberapa barang/jasa juga demikian skemanya agar ringan," sambungnya.
Di sisi lain pemerintah memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga mendapatkan bansos dan subsidi diarahkan ke orang. Maka menurutnya menjadi relevan, yakni bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN (misal 1 persen atau 5 persen), dengan bansos atau subsidi yang diterima rumah tangga.
"Mohon terus dikritik, diberi masukan, dan dikawal. Ini masih terus dikaji, dipertajam, dan disempurnakan. Pada waktunya akan dibahas dengan DPR. Jika disetujui, pelaksanaannya memperhatikan momen pemulihan ekonomi. Kita bersiap untuk masa depan yang lebih baik," demikian twit Yustinus.