Sukses

HEADLINE: Sembako akan Dikenakan Tarif PPN, Plus Minus untuk Perekonomian Nasional?

Pemerintah berencana mengenakan PPN untuk sejumlah bahan pokok atau sembako. Banyak yang menolak rencana tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Yang terbaru, pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako).

Aturan sembako bakal kena PPN ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Mengacu Pasal 4A RUU KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Sembako sebagai barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat sebelumnya tidak dikenakan PPN, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.

Untuk diketahui, dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Kamis (10/6/2021), PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).

PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Saat ini, Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.

Pada dasarnya, semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN.

Adapun 13 kategori sembako pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 yang nantinya akan dikenai PPN, antara lain:

1. Beras dan Gabah

2. Jagung

3. Sagu

4. Kedelai

5. Garam Konsumsi

6. Daging

7. Telur

8. Susu

9. Buah-buahan

10. Sayur-sayuran

11. Ubi-ubian

12. Bumbu-bumbuan

13. Gula Konsumsi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 5 halaman

Penjelasan Kemenkeu

Saat bertemu dengan Komisi XI DPR RI pada Kamis 10 Juni 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun belum menjelaskan mengenai rencana PPN sembako ini. Alasannya, tidak etis karena draf belum resmi disampaikan ke DPR. 

"Untuk masalah PPN, mungkin Komisi XI memahami bahwa kita menyiapkan RUU KUP yang sampai saat ini belum disampaikan di paripurna, dibacakan. Kami dari etika politik, belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui surat Presiden," kata Sri Mulyani.

Namun, Sri Mulyani berjanji akan menjelaskan soal PPN sembako dan RUU KUP dalam rapat dengan Komisi XI yang bakal digelar di kemudian hari. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo pun angka bicara terkait rencana pengenaan PPN sembako ini. Dia menyampaikan, pengenaan tarif PPN sembako ini bertujuan untuk memayungi seluruh jenis kelompok barang konsumsi agar dikenai pajak secara adil.

Dia mencontohkan, pembelian beras premium untuk kelompok atas dan beras murah untuk masyarakat kelas bawah, yang saat ini sama-sama tidak membayar PPN.

"Sama juga kalau mengkonsumsi daging segar atau ayam segar premium, dan saya mengkonsumsi ayam yang saya beli di pasar, itu sama-sama tidak kena PPN," ujar Yustinus kepada Liputan6.com.

Berkaca pada kondisi tersebut, dia menilai ada suatu distorsi lantaran masyarakat mampu dan kekurangan yang punya daya beli berbeda sama-sama dapat kemudahan bebas PPN.

"Itu yang jadi distorsi sebenarnya, yang harusnya konsumen mampu menikmati tidak bayar PPN, padahal kalau dikenai dan dia mampu mustinya bisa dipakai untuk mengkompensasi yang tidak mampu," terang Yustinus.

Oleh karenanya, pemerintah dalam Pasal 7 RUU KUP coba membuat pengecualian untuk penerapan tarif PPN 12 persen. Dalam hal ini, tarif PPN dapat diubah jadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Pengecualian itu dikatakan Yustinus bisa juga diterapkan pada PPN sembako, dimana barang konsumsi untuk masyarakat mampu dikenai tarif normal, sementara untuk masyarakat umum bisa dikenai tarif yang rendah.

"Misalnya saya bilang bisa pakai opsi seperti untuk barang pertanian, kan 1 persen. Itu bisa dipakai, jadi kan tidak memberatkan kalau 1 persen dari harga barang. Apalagi kelompok masyarakat miskin kan mendapat bansos termasuk subsidi lain, sehingga itu bisa dipakai untuk mengkompensasi," tuturnya.

"Tetapi pemerintah dapat dari kelompok atas tadi penerimaan lebih besar, sehingga bisa dipakai untuk mensubsidi yang tidak mampu. Jadi itu pertimbangannya," jelas dia.

Tak Berdampak ke Harga Sembako

Yustinus juga mengklaim pemberian pajak tersebut tak akan banyak mengganggu harga sembako di pasaran.

"Mustinya tidak berpengaruh pada kenaikan harga. Kalau untuk kelompok kaya tadi bisa jadi memang ada kenaikan, tapi yang membeli kan memang kelompok yang penghasilannya juga tinggi," jelasnya.

Lebih lanjut, Yustinus menyatakan, pemerintah juga telah memperhatikan program pemulihan ekonomi dalam rencana tarif PPN sembako. Sehingga ia memastikan kebijakan tersebut betul-betul akan seiring dengan tahap pemulihan ekonomi.

"Tidak mungkin lah pemerintah ini sedang merancang pemulihan ekonomi kok malah mau dibunuh sendiri. Sudah pasti timing-nya pasti diperhatikan," tegasnya.

Dia menyampaikan, pemerintah saat ini masih menunggu ketok palu dari DPR agar tarif PPN sembako dan RUU KUP bisa diberlakukan. Namun ia belum bisa menyebutkan kapan pemerintah akan bertemu dengan DPR untuk mendengarkan segala masukan.

"Saat ini belum ada jadwal dengan DPR. Ini yang musti kita tunggu," ujar Yustinus.

Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji, mengatakan bahwa wacana tersebut perlu dilihat dengan lebih jernih. Ia menjelaskan pada dasarnya keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil, khususnya dalam hal keterjangkauan barang kebutuhan pokok dapat dilakukan melalui dua jalur.

Jalur yang sekarang dominan digunakan adalah melalui skema pengecualian PPN atau subsidi melalui sistem pajak. Namun demikian, perlu dicermati bahwa skema ini berpotensi membuat alokasinya tidak tepat sasaran karena atas bahan kebutuhan pokok yang sama juga dinikmati oleh kalangan menengah-atas.

"Jika demikian, keberpihakan tersebut sebaiknya bisa dilakukan melalui belanja yaitu subsidi, bantuan sosial, atau program lainnya. Dengan demikian, kebijakannya lebih tepat sasaran serta sekaligus dapat mengendalikan belanja perpajakan pengecualian PPN yang nilainya signifikan dan terus meningkat," jelas Bawono kepada Liputan6.com.

Dijelaskan Bawono, pengecualian PPN berdampak bagi besaran belanja perpajakan (tax expenditure) di Indonesia. Dari laporan belanja perpajakan yang dirilis pada tahun lalu, diketahui bahwa belanja pajak dari berbagai pengecualian PPN adalah sebesar Rp 73,4 triliun (2019), atau sekitar 29 persen dari seluruh total belanja pajak Indonesia.

"Menurut saya, jumlahnya signifikan. Lebih lanjut lagi, khusus atas pengecualian PPN atas barang kebutuhan pokok memiliki belanja perpajakan yang terbesar dari berbagai pengecualian yakni sebesar Rp 29 triliun," katanya.

Pengecualian PPN, katanya, juga berpotensi mendistorsi dan mengurangi netralitas sistem PPN, maupun berdampak bagi kinerja optimalisasi PPN. Atas argumen tersebutlah, OECD, World Bank, dan IMF merekomendasikan Indonesia untuk bisa mengurangi jumlah barang atau jasa yang dikecualikan dari PPN.

"Kebijakan ini juga menjadi bagian dari strategi broadening tax base," tutur Bawono.

3 dari 5 halaman

Ditolak Banyak Pihak

Rencana pemerintah untuk mengenakan PPN pada sembako pun ditentang oleh kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mempertanyakan rencana pengenaan tarif PPN sembako dan di saat bersamaan pemerintah juga akan kembali menggelar program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II.

"Cara-cara memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikan PPN khususnya PPN sembako adalah cara-cara kolonialisme yang dilakukan oleh Menteri Keuangan," kata Iqbal.

"Ini adalah sifat penjajah. Orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM 0 persen, tapi rakyat untuk makan direncanakan dikenai pajak," serunya.

"Kami akan tempuh secara hukum uji materi di Mahkamah Konstitusi. Yang kedua kami minta DPR menolak keras, jadilah wakil rakyat. Keterlaluan kalau sampai mengesahkan tax amnesty dan menaikan PPN untuk sembako," tegasnya. 

Gayung bersambut, beberapa anggota DPR pun juga mempertanyakan kebijakan pemerintah ini. Ketua DPP PKS Netty Prasetiyani Aher berharap pemerintah membatalkan rencana pengenaan PPN sembako.

Pasalnya, selain membuat rakyat semakin susah dan bertambahnya angka kemiskinan, ini jelas berpotensi meningkatkan angka stunting yang kini coba ditekan oleh pemerintah sendiri.

"Kita khawatir banyak keluarga akan kesulitan memenuhi standar gizi untuk anak-anak, bahkan dapat mengancam naiknya angka stunting dan gizi buruk," kata Netty.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara meminta pemerintah memikirkan lebih matang rencana ini.  Ia menyebut adanya PPN tersebut, hanya akan menambah beban rakyat dan berpotensi menaikkan angka kemiskinan.

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani menilai wacana pemerintah untuk menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan berpotensi melanggar Pancasila.

Menurut Arsul, wacana itu akan melanggar sila kelima, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Penolakan juga datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menolak rencana pemerintah menarik tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan pangan. Menurut Tulus, rencana tersebut sangat tidak manusiawi.

Di tengah pandemi Covid-19, daya beli masyarakat sedang turun drastis. Seharusnya langkah yang diberikan diberi insentif perpajakan tetapi ini justru sebaiknya. 

"Wacana ini jelas menjadi wacana kebijakan yang tidak manusiawi," kata Tulus dalam pernyataanya, Kamis (10/6/2021).

Tulus mengatakan, pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi.

4 dari 5 halaman

Timbulkan Risiko dan Kontraproduktif

Rencana pengenaan PPN sembako ini dinilai memiliki beberapa risiko. Hal tersebut diungkapkan Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira.

"Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya, bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa turun, tapi angka kemiskinan bisa naik," ujar Bhima saat dihubungi Liputan6.com.

Lanjutnya, sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya, jika harga pangan naik, tentu jumlah penduduk miskin akan bertambah.

Kemudian, pengawasan PPN pada bahan makanan relatif sulit dibanding barang retail lain dan biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang rantai pasokannya panjang serta berkaitan dengan sektor informal di pertanian.

Bhima juga menilai, rencana ini kontraproduktif dengan upaya untuk memulihkan ekonomi, apalagi kenaikan pajak ini dibarengi rencana pencabutan subsidi listrik, pengurangan bansos dan lainnya.

"Data pangan juga masih bermasalah, terlihat dari sengkarut impor berbagai jenis pangan seperti beras, jagung hingga sapi. Padahal, pemajakan objek pangan butuh data yang balid," ujarnya.

Lebih lanjut, Bhima menyarankan agar pajak untuk bahan pangan dibatalkan karena akan berdampak buruk bagi masyarakat menengah ke bawah.

"Banyak kebijakan pajak lain yang bisa diambil jangan main gampang tarik PPN sembako. Itu namanya bunuh diri ekonomi," tandas Bhima.

Sedangkan Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, pemerintah harus memperhatikan waktu yang tepat untuk menerapkan PPN sembako, karena saat ini Indonesia masih berjuang untuk pulih dari pandemi.

"Pemerintah hendaknya melakukan perubahan menunggu waktu yang tepat, yaitu ketika perekonomian sudah benar-benar pulih," ujar dia kepada Liputan6.com.

Lanjutnya, rencana perubahan kebijakan perpajakan harus dilihat secara menyeluruh, bukan dilihat parsial satu persatu. Reformasi perpajakan merupakan amanah yang harus dilakukan pemerintah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Saat ini, wacana pengenaan pajak sembako masih berupa rencana yang belum matang dan masih harus digodok lagi.

"Jadi rencana tersebut baru akan dibahas di DPR yang tentunya masih akan banyak perdebatan dan perubahan," kata Piter.

 

5 dari 5 halaman

Sektor Lain yang Juga akan Kena PPN

Pengenaan PPN sembako ini sejatinya merupakan bagian dari Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP)

Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah menyatakan, pembahasan revisi perpajakan ini akan segera dibahas bersama pemerintah dalam waktu dekat. Paling tidak pada masa sidang yang berakhir pada 16 Juli 2021 mendatang.

Revisi aturan mengenai perpajakan, di dalamnya memuat mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga tax amnesty jilid II. Adapun revisi sejumlah aturan itu tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Akan ada perkembangan pembahasan untuk RUU KUP yang akan bergulir. Insyaallah pada sidang kali ini, tentu di Komisi XI," ujarnya dalam rapat panitia kerja (panja) asumsi dasar dan kebijakan fiskal dengan pemerintah, di DPR RI, Jakarta.

Berdasarkan draf RUU KUP yang diterima merdeka.com, ada sejumlah aturan perpajakan yang akan dilakukan pemerintah. Mulai dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) minimum 1 persen pada perusahaan merugi, menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, hingga tax amnesty jilid II.

Untuk PPh minimum, perusahaan atau wajib pajak badan akan dikenakan PPh minimum jika memiliki PPh tidak melebihi 1 persen dari penghasilan bruto.

Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan tarif PPh 35 persen bagi wajib pajak yang memiliki pendapatan kena pajak di atas Rp5 miliar dalam setahun.

Untuk PPN, selain menaikkan tarif menjadi 12 persen, pemerintah juga akan menghapus sejumlah barang dan jasa yang selama ini bebas PPN.

Untuk barang, ada dua kelompok yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara, dan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau sembako.

Sementara untuk kelompok jasa, ada 11 kelompok jasa yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Di antaranya jasa pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi, dan pendidikan luar sekolah seperti kursus.

Selain pendidikan, ada juga kelompok jasa yang akan dikenakan PPN, yaitu jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi.

Ada juga jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa penyediaan telepon umum menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Sehingga, dari kelompok 11 jasa tersebut nantinya hanya ada enam kelompok yang masih bebas PPN. Keenam kelompok tersebut yaitu jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, serta jasa boga atau katering. 

Kelompok barang dan jasa yang bebas PPN tersebut di antaranya merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.