Liputan6.com, Jakarta - Rencana pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sembako yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) terus menuai polemik. Kebijakan ini dinilai dapat menyulitkan masyarakat yang secara ekonomi tengah tertekan akibat pandemi Covid-19.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pengenaan PPN baru dan kenaikan pajak jadi hal wajar. Sebab, sejumlah negara juga tengah melakukan optimalisasi pajak lewat berbagai kebijakan.
"Banyak negara berpikir ini saat yg tepat utk memikirkan optimalisasi pajak utk sustainabilitas," ujar Yustinus dalam cuitannya melalui akun @prastow, dikutip Kamis (10/6/2021).
Advertisement
Dia lantas mengutip upaya Joe Biden pasca dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat, yang berencana menaikan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21 persen ke 28 persen. Selaras, Inggris juga hendak menaikan tarif PPh badan dari 19 persen menjadi 23 persen.
Dari sisi PPN, Yustinus melanjutkan, berbagai negara juga memikirkan penataan ulang sistem pajak pertambahan nilai. Dia mencatat, ada 15 negara yang menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi.
Menurut catatannya, terdapat 24 negara yang memberlakukan tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara antara 11-20 persen, da sisanya berada di bawah 10 persen.
"Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4 persen. Kita sendiri masih 10 persen," jelas Yustinus.
Dari sekian banyak negara tersebut, ia menyebutkan, tak sedikit juga negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN. Hal itu coba dicontoh Pemerintah RI melalui RUU KUP, yang coba membuat pengecualian untuk penerapan tarif PPN 12 persen. Dalam hal ini, tarif PPN dapat diubah jadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen
"Ini selaras dg adagium lama, semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil, dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi nggak adil," kata Yustinus.
Oleh karenanya, ia berkesimpulan, penerimaan PPN di Indonesia belum optimal lantaran terlalu banyak pengecualian dan fasilitas untuk seluruh jenis barang dan jasa.
"Indonesia negara dg pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jd ruang penghindaran pajak," ungkap Yustinus.
"Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yg mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!" tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemerintah Klaim PPN Tak Bikin Harga Sembako Naik
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan pemerintah tak akan sembarangan memberikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk barang pokok seperti sembako.
Pengenaan tarif PPN ini juga membuka opsi pengecualian untuk barang kebutuhan umum masyarakat seperti sembako. Sehingga Yustinus mengklaim pemberian pajak tersebut tak akan banyak mengganggu harga sembako di pasaran.
"Mustinya tidak berpengaruh pada kenaikan harga. Kalau untuk kelompok kaya tadi bisa jadi memang ada kenaikan, tapi yang membeli kan memang kelompok yang penghasilannya juga tinggi," jelasnya pada Liputan6.com, Kamis (10/6/2021).
Sebagai catatan, pemerintah dalam Pasal 7 Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) coba membuat pengecualian untuk penerapan tarif PPN 12 persen. Dalam hal ini, tarif PPN dapat diubah jadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Lebih lanjut, Yustinus menyatakan, pemerintah juga telah memperhatikan program pemulihan ekonomi dalam rencana tarif PPN sembako. Sehingga ia memastikan kebijakan tersebut betul-betul akan seiring dengan tahap pemulihan ekonomi.
"Tidak mungkin lah pemerintah ini sedang merancang pemulihan ekonomi kok malah mau dibunuh sendiri. Sudah pasti timing-nya pasti diperhatikan," tegasnya.
Yustinus menyampaikan, pemerintah saat ini masih menunggu ketok palu dari DPR agar tarif PPN sembako dan RUU KUP bisa diberlakukan. Namun ia belum bisa menyebutkan kapan pemerintah akan bertemu dengan DPR untuk mendengarkan segala masukan.
"Saat ini belum ada jadwal dengan DPR. Ini yang musti kita tunggu," ujar Yustinus.
Advertisement