Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako). Hal ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Mengacu pasal 4A RUU KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN Hal ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak.
Baca Juga
Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan, langkah pengenaan PPN sembakomemiliki beberapa risiko.
Advertisement
"Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya, bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa turun, tapi angka kemiskinan bisa naik," ujar Bhima saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/6/2021).
Lanjutnya, sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya, jika harga pangan naik, tentu jumlah penduduk miskin akan bertambah.
Kemudian, pengawasan PPN pada bahan makanan relatif sulit dibanding barang retail lain dan biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang rantai pasokannya panjang serta berkaitan dengan sektor informal di pertanian.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kontraproduktif
Bhima juga menilai, rencana ini kontraproduktif dengan upaya untuk memulihkan ekonomi, apalagi kenaikan pajak ini dibarengi rencana pencabutan subsidi listrik, pengurangan bansos dan lainnya.
"Data pangan juga masih bermasalah, terlihat dari sengkarut impor berbagai jenis pangan seperti beras, jagung hingga sapi. Padahal, pemajakan objek pangan butuh data yang balid," ujarnya.
Lebih lanjut, Bhima menyarankan agar pajak untuk bahan pangan dibatalkan karena akan berdampak buruk bagi masyarakat menengah ke bawah.
"Banyak kebijakan pajak lain yang bisa diambil jangan main gampang tarik PPN sembako. Itu namanya bunuh diri ekonomi," tandas Bhima.
Advertisement