Sukses

Kemenkeu: PPN Pendidikan Tak Akan Beratkan Orang Tua Murid

Kementerian Keuangan coba menanggapi tudingan bahwa pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pendidikan

Liputan6.com, Jakarta Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, coba menanggapi tudingan bahwa pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pendidikan bakal berdampak pada bertambahnya beban orang tua murid.

Meski aspek pembahasan di tingkat pemerintah belum ke arah sana, Yustinus percaya PPN pendidikan tidak akan melegalkan sekolah menarik biaya lebih kepada orang tua murid.

"Kita belum sampai ke sana. Pasti kita akan perhatikan ini tidak akan memberatkan kepada orang tua murid," kata dia kepada Liputan6.com, Sabtu (12/6/2021).

Menurut dia, pungutan PPN ini fokusnya akan kepada jasa pendidikan yang bersifat mencari keuntungan (profit oriented) seperti tempat les mahal dan bisa dimanfaatkan oleh kelompok atas.

Di sisi lain, pemerintah disebutnya pasti berkomitmen agar jasa pendidikan tetap bisa dimanfaatkan dan diakses oleh kelompok masyarakat menengah bawah dengan biaya terjangkau.

"Wajar kalau konsumen tapi kuat dan mereka mampu. Jadi kalau pun dikenai PPN ya diharapkan tidak memberatkan. Dan kalau kelas menengah bawah dikenai pasti akan berat," ungkapnya.

Adapun dalam Pasal 7 Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), akan ada sejumlah pengecualian untuk penerapan tarif PPN 12 persen. Dalam hal ini, tarif PPN dapat diubah jadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Namun demikian, Yustinus mengatakan, penggolongan tarif PPN termasuk untuk jasa pendidikan sejauh ini belum dimatangkan lebih lanjut, khususnya bersama DPR.

"Jadi nantinya klasifikasi kriteria PPN pendidkan itu bisa dirumuskan berikutnya. Jangan sekarang, masih terlalu jauh. Kita bahas dengan DPR juga belum kok," ujar Yustinus.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Sembako Bakal Kena PPN, Ekonom: Itu Namanya Bunuh Diri Ekonomi

Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako). Hal ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Mengacu pasal 4A RUU KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN Hal ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak.

Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan, langkah pengenaan PPN sembakomemiliki beberapa risiko.

"Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya, bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa turun, tapi angka kemiskinan bisa naik," ujar Bhima saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/6/2021).

Lanjutnya, sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya, jika harga pangan naik, tentu jumlah penduduk miskin akan bertambah.

Kemudian, pengawasan PPN pada bahan makanan relatif sulit dibanding barang retail lain dan biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang rantai pasokannya panjang serta berkaitan dengan sektor informal di pertanian.

3 dari 3 halaman

Kontraproduktif

Bhima juga menilai, rencana ini kontraproduktif dengan upaya untuk memulihkan ekonomi, apalagi kenaikan pajak ini dibarengi rencana pencabutan subsidi listrik, pengurangan bansos dan lainnya.

"Data pangan juga masih bermasalah, terlihat dari sengkarut impor berbagai jenis pangan seperti beras, jagung hingga sapi. Padahal, pemajakan objek pangan butuh data yang balid," ujarnya.

Lebih lanjut, Bhima menyarankan agar pajak untuk bahan pangan dibatalkan karena akan berdampak buruk bagi masyarakat menengah ke bawah.

"Banyak kebijakan pajak lain yang bisa diambil jangan main gampang tarik PPN sembako. Itu namanya bunuh diri ekonomi," tandas Bhima.