Sukses

YLKI: 1 Persen pun Sembako Tak Pantas Dipungut PPN

YLKI menolak rencana pemerintah untuk mengenakan bahan pangan pokok atau sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menolak rencana pemerintah untuk mengenakan bahan pangan pokok atau sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN). Bahkan, dengan besaran tarif 1 persen sekali pun.

"Saya kira dari sisi etika memang kurang pantas atau bahkan tidak pantas kalau kemudian (sembako) dikenakan tarif PPN. 1 persen pun tidak layak," kerasnya dalam diskusi virtual Polemik Trijaya, Sabtu (12/6/2021).

Sebab, menurut Tulus, efek dari pengenaan tarif PPN terhadap kelompok sembako akan menyebabkan terjadinya penyesuaian harga. Sehingga, dapat membebani masyarakat selaku konsumen.

Padahal, saat ini, konsumen masih menanggung sejumlah permasalahan terkait sembako. Diantaranya tingginya biaya logistik hingga distribusi yang tidak merata.

"Itu jadi beban yang berat bagi masyarakat dan kemudian memukul daya beli," bebernya.

Maka dari itu, dia mendesak pemerintah untuk lebih fokus memperbaiki sistem logistik agar lebih efisien hingga pemerataan distribusi ketimbang mengenakan pajak untuk sembako. Dengan begitu, konsumen akan memperoleh manfaat berlipat atas penurunan harga dan ketersediaan pasokan bahan pangan.

"Karena dalam melihat suatu (perbaikan) komoditas bukan hanya soal harga. Tetapi efek lainnya juga," tukas Ketua YLKI.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

PPN Sembako dan Pendidikan Turunkan Kepercayaan Masyarakat ke Pemerintah

Ekonom senior Fadhil Hasan menyoroti polemik dari rencana pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan pendidikan yang tertuang dalam revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Menurut dia, yang sering dilupakan pemerintah dalam revisi pajak dan penerbitan kebijakan akhir-akhir ini adalah kepercayaan publik.

"Revisi KUP apapun itu bisa berjalan efektif manakala trust kepada pemerintah cukup kuat," ujar Fadhil dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/6/2021).

Fadhil berpendapat, penolakan terhadap PPN sembako dan pendidikan muncul lantaran masyarakat sudah kadung tidak percaya dengan berbagai kebijakan pemerintah.

Semisal isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rencana impor beras, pembatalan haji, hingga anggaran alat utama sistem senjata (alutsista) berjumlah ribuan triliun rupiah.

"Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah terdapat distrust yang cukup tinggi, sehingga dikhawatirkan penerapan reformasi KUP tidak akan berjalan efektif. Distrust itu terjadi justru karena banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, sensitif dan kontroversial," tutur Fadhil.

Dia lantas menyarankan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar memperhatikan faktor waktu dalam merencanakan sebuah kebijakan, apakah itu pungutan PPN maupun program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II.

"Karena itu penting untuk disampaikan bahwa penerapan RUU KUP tersebut dilakukan setelah ekonomi sepenuhnya pulih dan pertumbuhan kembali ke alurnya yang normal," pungkas Fadhil.