Liputan6.com, Jakarta - Anggota komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar M Misbakhun mengatakan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus bertanggung jawab dengan polemik tentang rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen dan penambahan obyek baru PPN seperti kebutuhan pokok beras dan sektor pendidikan.
Menurut Misbakhun, polemik ini sangat mempengaruhi citra pemerintahan Jokowi yang dari awal sangat berpihak kepada rakyat kecil.
Kedua sektor ini awalnya dibebaskan PPN karena merupakan kebutuhan dasar masyarakat, wajar jika terjadi polemik dan penolakan keras dari masyarakat.
Advertisement
"Oleh karena itu Sri Mulyani harus menarik dan merivisi ulang draft RUU KUP yang isinya sangat tidak populer tersebut," kata dia dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (12/6/2021).
Menurut Misbakhun, sektor pendidikan, pangan, dan kesehatan adalah amanat konstitusi yang menjadi simbol pencapaian kesejahteraan sebagai tujuan bernegara. Oleh sebab itu, ia meminta kepada Sri Mulyani untuk belajar lebih keras lagi melihat kaitan dan hubungan antar kebijakan sektor pajak dengan amanat konstitusi.
"Melihat Kembali dimana bagian-bagian yang merupakan keberpihakan negara kepada rakyatnya, sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat tetap mencerminkan sifat kegotong royongan dalam meningkatkan kualitas kehidupan bernegara, " kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Masih Pandemi, Pemerintah Diminta Menahan Diri Pungut PPN Sembako
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan memiliki hak diskresi dalam menentukan naik turunnya pajak pertambahan nilai (PPN). Payung hukum kenaikan tarif PPN dinilai cukup melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), tidak perlu sampai merevisi undang-undang yang merupakan dasar hukum yang lebih tinggi dari PMK.
Ekonom Senior INDEF menilai perubahan tarif PPN sudah tepat lewat PMK karena bersifat fleksibel dan bisa menyesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini. Sehingga naik turunnya pajak tidak membutuhkan keputusan politis lewat undang-undang.
"Tidak perlu keputusan politis, maka fleksibel aja sama pemerintah. Kalau butuh dinaikkan, tinggal dinaikkan, kalau belum butuh ya enggak usah dinaikkan. Itu terserah pemerintah aja, kondisional," tutur Enny saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (11/6).
Sebelumnya, beredar draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Didalamnya terdapat rencana mengenakan tarif pajak untuk bahan kebutuhan pokok sampai dengan pendidikan.
Meski hal ini masih belum dibahas antara pemerintah dengan DPR, namun telah membuat kegaduhan di masyarakat. Terlebih masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian nasional dan keuangan rakyat.
"Apakah masyarakat sudah memungkinan, pemerintah menaikkan (PPN) atau belum? Jadi biar tidak ada dusta karena ini kan seolah-olah katanya enggak berlaku sekarang, tapi dipaksakan dibahas di sekarang, ini kan rancu," ungkapnya.
Bila pemerintah pada akhirnya bersikukuh dengan menaikkan tarif PPN, tentu hal ini membuat masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok. Terlebih bagi mereka yang terdampak pandemi dan kehilangan pekerjaan.
Advertisement
80 Persen Pandapatan untuk Pangan
Sebab, Enny menyebut masyarakat miskin Indonesia 80 persen menghabiskan pendapatannya untuk belanja kebutuhan pangan. Sehingga bila kenaikan PPN dilakukan, maka hidup mereka hanya untuk makan, tidak bisa memiliki tabungan atau memenuhi kebutuhan selain pangan.
"Masyarakat miskin ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan itu 80 persen dari pendapatannya. Kalau itu naik ya jadi 100 peersen, habis untuk beli pangan," kata dia.
Enny menambahkan bila pemerintah tidak akan menaikkan tarif pajak dalam waktu dekat, sebaiknya hal ini tidak dibahas lebih dulu. Sebab ini bisa menyinggung perasaan masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi.
"Kalau enggak mau dilakukan sekarang ya jangan disinggung-singgung. Ini menyakiti hati publik, orang lagi kesulitan ekonomi malah ada wacana kenaikan PPN, PPh, itu namanya dzolim," kata dia mengakhiri.