Liputan6.com, Jakarta - Rencana pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kelompok barang dan jasa tertentu, termasuk sembako dan pendidikan, dikritik oleh banyak pihak. Rencana ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun menjelaskan latar belakang perubahan ketentuan PPN tersebut, khususnya terkait informasi mengenai PPN untuk sembako dan jasa pendidikan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor, mengatakan perubahan ketentuan PPN ini dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, karena adanya distorsi ekonomi disebabkan tax incidence, sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Advertisement
Selain itu, juga disebabkan pemungutan pajak yang ada saat ini dinilai tidak efisien serta pemberian fasilitas seperti saat ini memerlukan Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) Pajak dan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) yang menimbulkan biaya administrasi.
Neilmaldrin juga menjelaskan perubahan ini untuk menciptakan sistem pemungutan pajak yang lebih adil.
"Saat ini kurangnya rasa keadilan karena atas objek pajak yang sama, yang dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda, sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN," jelas Neilmaldrin dalam media briefing pada Senin (14/6/2021).
Ia pun menyoroti kondisi Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia. Tarif PPN di Indonesia termasuk rendah, yakni 10 persen.
Sebagai perbandingan, rata-rata tarif PPN negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah 19 persen, sedangkan negara BRICS 17 persen.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
multitarif PPN
Dijelaskannya, saat ini sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN. Dalam hal ini maksudnya adalah golongan yang memiliki ability to pay atas Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu akan dikenai tarif yang lebih tinggi.
Terhadap BKP dan JKP yang dikonsumsi masyarakat banyak diberikan tarif PPN lebih rendah dari tarif normal. Sementara bagi masyarakat kecil dikompensasi dengan pemberian subsidi.
Dalam penerapannya, kata Neilmaldrin, rencana ini akan membuat barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat kelas menengah, khususnya menengah bawah, kemungkinan dikenai tarif lebih rendah. Sebaliknya, yang dikonsumsi oleh kelompok-kelompok tertentu maupun sifatnya lebih eksklusif, bisa dikenai PPN lebih tinggi dengan adanya skema multitarif ini.
"Masyarakat menengah bawah bisa jadi dikenakan tarif lebih rendah. " tuturnya.
Neilmaldrin mengatakan, perubahan ketentuan PPN ini diharapkan dapat meningkatkan c-efficiency PPN Indonesia yang saat ini masih 0,6 atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
C-efficiency Indonesia ini lebih rendah daripada sejumlah negara seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam yaitu sudah mencapai 80 persen.
"Artinya, saat ini PPN yang ada di Indonesia baru terkumpul sebesar 60 persen. Untuk itu kita mencoba bagaimana memperbaiki baik dari sisi administrasi, keadilan dan regulasi," katanya.
Ia menegaskan, perubahan ketentuan PPN ini dilakukan dengan tetap menjaga netralitas PPN setelah membandingkan penerapan fasilitas serupa dengan beberapa negara lain di dunia.
Advertisement