Liputan6.com, Jakarta - Rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembako semakin menjadi sorotan setelah pemerintah memutuskan memperpanjang diskon 100 persen Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil baru hingga Agustus 2021.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Neilmaldrin Noor, pun menegaskan kedua hal tersebut tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Kebijakan pemerintah ini bukan persoalan kaya dan miskin.
Baca Juga
Neilmaldrin menjelaskan bahwa PPnBM merupakan bentuk dukungan pemerintah agar sektor otomotif tidak kolaps, sehingga ujungnya akan berdampak pada masyarakat yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Advertisement
"Kalau ini dibiarkan kolaps, ini juga akan kembali ke masyarakat luas dan pengusaha itu sendiri juga. Jadi sama sekali bukan masalah kaya miskin, atau bukan kelas atas bawah. Yang diberikan ini adalah fokus pemulihan ekonomi yang kita perhitungkan secara hati-hati," jelas Neilmaldrin dalam media briefing pada Senin (14/6/2021).
Ia mengatakan, berdasarkan data yang ada diketahui bahwa masyarakat golongan tertentu di pandemi Covid-19 ini tidak membelanjakan uangnya. Mereka memilih menyimpan atau menahan pengeluarannya, yang kemudian akan berdampak pada produsen sektor-sektor tertentu seperti otomotif dan properti.
Jika dibiarkan terus seperti itu, maka penjualan menurun dan menyebabkan pengusaha kolaps. Hingga akhirnya PHK tidak bisa dihindari.
"Sudah pasti ini akan berdampak pada masyarakat umum, yang notabene middle income yang menjadi karyawan. Berapa orang yang selama ini menopang industri otomotif dan industri-industri penunjangnya, begitu juga dengan industri properti. Di sana banyak rekan-rekan kita, saudara-saudara kita yang bekerja di sektor-sektor penunjang tersebut," tuturnya.
Oleh sebab itu, ia berharap diskon PPnBM untuk tidak dibanding-bandingkan dengan rencana pemerintah mengenakan PPN untuk sembako.
"Fasilitas diberikan kepada orang kaya, yang beli mobil orang kaya direpresentasikan seperti itu. Kemudian diadu lagi dengan PPN sembako mau dikenakan ke rakyat kecil. Ini jangan dilihat siapa yang beli, tapi di sini pertimbangannya diberikan itu kenapa?," ungkapnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Terungkap, Ini Alasan Pemerintah Ingin Kenakan PPN Sembako dan Pendidikan
Sebelumnya, rencana pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kelompok barang dan jasa tertentu, termasuk sembako dan pendidikan, dikritik oleh banyak pihak. Rencana ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun menjelaskan latar belakang perubahan ketentuan PPN tersebut, khususnya terkait informasi mengenai PPN untuk sembako dan jasa pendidikan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor, mengatakan perubahan ketentuan PPN ini dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, karena adanya distorsi ekonomi disebabkan tax incidence, sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Selain itu, juga disebabkan pemungutan pajak yang ada saat ini dinilai tidak efisien serta pemberian fasilitas seperti saat ini memerlukan Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) Pajak dan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) yang menimbulkan biaya administrasi.
Neilmaldrin juga menjelaskan perubahan ini untuk menciptakan sistem pemungutan pajak yang lebih adil.
"Saat ini kurangnya rasa keadilan karena atas objek pajak yang sama, yang dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda, sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN," jelas Neilmaldrin dalam media briefing pada Senin (14/6/2021).
Ia pun menyoroti kondisi Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia. Tarif PPN di Indonesia termasuk rendah, yakni 10 persen.
Sebagai perbandingan, rata-rata tarif PPN negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah 19 persen, sedangkan negara BRICS 17 persen.
Â
Advertisement
multitarif PPN
Dijelaskannya, saat ini sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN. Dalam hal ini maksudnya adalah golongan yang memiliki ability to pay atas Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu akan dikenai tarif yang lebih tinggi.
Terhadap BKP dan JKP yang dikonsumsi masyarakat banyak diberikan tarif PPN lebih rendah dari tarif normal. Sementara bagi masyarakat kecil dikompensasi dengan pemberian subsidi.
Dalam penerapannya, kata Neilmaldrin, rencana ini akan membuat barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat kelas menengah, khususnya menengah bawah, kemungkinan dikenai tarif lebih rendah. Sebaliknya, yang dikonsumsi oleh kelompok-kelompok tertentu maupun sifatnya lebih eksklusif, bisa dikenai PPN lebih tinggi dengan adanya skema multitarif ini.
"Masyarakat menengah bawah bisa jadi dikenakan tarif lebih rendah. " tuturnya.
Neilmaldrin mengatakan, perubahan ketentuan PPN ini diharapkan dapat meningkatkan c-efficiency PPN Indonesia yang saat ini masih 0,6 atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
C-efficiency Indonesia ini lebih rendah daripada sejumlah negara seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam yaitu sudah mencapai 80 persen.
"Artinya, saat ini PPN yang ada di Indonesia baru terkumpul sebesar 60 persen. Untuk itu kita mencoba bagaimana memperbaiki baik dari sisi administrasi, keadilan dan regulasi," katanya.
Ia menegaskan, perubahan ketentuan PPN ini dilakukan dengan tetap menjaga netralitas PPN setelah membandingkan penerapan fasilitas serupa dengan beberapa negara lain di dunia.Â
Infografis
Advertisement