Sukses

Wamenkeu Soal Pajak Sembako: Bukan Niat Ingin Pendapatan Lebih Tapi Kesetaraan

Wamenkeu mencontohkan harga beras, dimana bahan pokok tersebut memiliki beragam jenis dengan perbedaan harga yang sangat mencolok.

Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara memastikan, keputusan pemerintah dalam mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sejumlah komoditas bahan pokok atau pajak sembako, jasa pendidikan dan kesehatan dilakukan dengan cermat dan hati-hati.

Menurutnya, pengenaan PPN ini selaras dengan reformasi perpajakan untuk mendukung kebijakan perpajakan jangka menengah.

"Saat ini, dimana pemerintah ingin kenakan pajak sembako. Bukan itu niatnya. Niatnya, kami ingin pastikan ada kebijakan yang bisa mendukung kebijakan pajak jangka menengah," ujar Suahasil dalam Indonesia Economic Prospects Launch June 2021, Kamis (17/6/2021).

Kondisi pasar Indonesia sangat beragam sehingga harga-harga barang yang tersebar mengalami ketimpangan.

Wamenkeu mencontohkan harga beras, di mana bahan pokok tersebut memiliki beragam jenis dengan perbedaan harga yang sangat mencolok.

"Misalnya beras, yang memiliki kualitas rendah harganya murah sekali, dibandingkan dengan beras kualitas tinggi," tutur dia.

Pemerintah berencana menerapkan tarif PPN secara berganda (multiple), dimana barang tertentu dapat dikenakan tarif yang berbeda, bisa lebih murah atau lebih tinggi.

"Jadi bukan jadi niat pemerintah untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan, tapi memastikan kesetaraan dalam prinsip perpajakan," tandas Suahasil.

Saksikan Video Ini

2 dari 3 halaman

Sri Mulyani: PPN Sembako untuk Beras Impor hingga Daging Wagyu

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengenakan PPN sembako yang menjadi kebutuhan masyarakat umum. Hal ini menjawab kekhawatiran bagi para pedagang kecil yang berjualan, khususnya di pasar taradisonal.

"Ibu pedagang bumbu menyampaikan kekhawatirannya membaca berita tentang pajak sembako yang dikhawatirkan menaikkan harga jual. Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum," jelasnya dia seperti dikutip dari laman facebooknya, Selasa (15/6/2021).

Sri Mulyani menekankan, pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan azas keadilan. Misalnya beras produksi petani kita seperti Cianjur, rojolele, pandan wangi, dll yang merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional tidak dipungut pajak (PPN).

Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak.

Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa, seharunya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak.

"Itu asas keadilan dalam perpajakan yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi," jelas Sri Mulyani.

 

3 dari 3 halaman

Insentif Pemerintah

Sri Mulyani melanjutkan, dalam menghadapi dampak Covid-19 yang berat, saat ini pemerintah justru memberikan banyak insentif pajak untuk memulihkan ekonomi. Pajak UMKM, pajak karyawan (PPH 21) dibebaskan dan ditanggung pemerintahan.

Pemerintah juga membantu rakyat melalui bantuan sosial, bantuan modal UMKM seperti yang telah diterima pedagang sayur di Pasar Santa tersebut, diskon listrik rumah tangga kelas bawah, internet gratis bagi siswa, mahasiswa dan guru.

Pemerintah juga memberikan vaksin gratis dan biaya rawat gratis bagi yang terkena Covid. Inilah fokus pemerintah saat ini, yaitu melindungi rakyat, ekonomi dan dunia usaha agar bisa tidak hanya bertahan namun pulih kembali secara kuat. Semangat para pedagang untuk bangkit sungguh luar biasa.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com