Liputan6.com, Jakarta Proses hilirisasi sawit mendorong kenaikan permintaan domestik untuk komoditas ini. Proses hilirisasi antara lain pada sektor pangan, kosmetik, hingga energi.
Konsumsi domestik minyak sawit diproyeksikan meningkat sebesar 6,6 persen, atau menjadi 18,50 juta ton pada tahun ini.
Baca Juga
Sepanjang 2020, kinerja industri sawit nasional tak hanya ditopang pasar ekspor, namun juga dari pasar domestik.
Advertisement
Konsumsi domestik pada 2020 meningkat sebesar 3,6 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya, atau menjadi sebesar 17,35 juta ton.
Peningkatan sepanjang tahun tersebut dikarenakan naiknya permintaan oleokimia untuk konsumsi sabun dan bahan pembersih, serta meningkatnya permintaan konsumsi untuk biodiesel terkait kebijakan mandatori B30.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, secara umum ekspor minyak sawit Indonesia mengalami kontraksi dibandingkan tahun lalu, namun secara nilai tercatat lebih tinggi.
Hingga saat ini pasar minyak sawit masih didominasi pasar ekspor mencapai 70 persen. Namun tahun ini diperkirakan pasar ekspor akan menurun menjadi 65 persen. Karena itu, pasar minyak pasar domestik menjadi harapan.
Apalagi sepanjang 2020 pasar domestik naik 3 persen akibat pandemik, yang meningkatkan konsumsi kebutuhan produk turunan CPO dari oleokimia naik 60,51 persen menjadi 1,695 juta ton.
Ini antara lain untuk sabun dan bahan baku disinfektan, dan peningkatan konsumsi biodiesel terkait kebijakan mandatori B30 sebesar 24 persen menjadi 7,226 juta ton. Melihat kondisi yang ada dan pemulihan ekonomi yang berlangsung, industri sawit nasional memiliki potensi yang cukup besar untuk terus tumbuh pada 2021.
Gapki memproyeksikan untuk konsumsi domestik akan mengalami peningkatan sebesar 6,6 persen, atau menjadi 18,50 juta ton pada 2021.
“Tahun ini kami optimis produksi minyak sawit 2021 akan naik signifikan karena pemeliharan kebun yang baik, cuaca yang mendukung, harga yang menarik sehingga produksi 49 juta ton untuk CPO dan 4,65 juta ton untuk PKO. Pemerintah berkomitmen melaksanakan mandatori B30, di mana konsumsi biodiesel sebesar 9,2 juta kilo liter yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit. Selain itu ada permintaan dari industri lainnya sebesar 2 juta ton untuk domestik dan ekspor 4,5 juta ton,” tukas Joko.
Mandatori B30
Sejalan dengan implementasi kebijakan mandatori B30, Ketua Bidang Pemasaran dan Promosi Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Irma Rachmania menyatakan komitmennya untuk mendukung program tersebut.
“Program B30 ini diharapkan dapat mendorong tercapainya target bauran energi Indonesia serta meningkatkan kemandirian energi nasional,” ujar Irma.
Sejauh ini, volume minyak nabati yang terserap untuk program B30 sepanjang 2020 mencapai 7,226 juta ton.
Sedangkan untuk tahun ini, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menetapkan volume biodiesel untuk program B30 mencapai 9,2 juta kiloliter atau setara 8 juta ton minyak sawit.
Saat ini, Indonesia merupakan negara terdepan yang telah mampu terbukti mengimplementasikan B30 yang merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Tren konsumsi biodiesel di dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun.Sementara itu, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo optimistis dengan konsumsi domestik seiring proses hilirisasi yang berjalan masif.
GIMNI juga tidak mengkhawatirkan hal terkait ancaman ekspor maupun larangan Uni Eropa yang akan meniadakan minyak sawit pada 2030 mendatang.
Hal ini dikarenakan, pada 2025 kebutuhan fatty acid methyl ester (FAME) untuk B30 sudah mencapai 12,7 juta ton, biohidrokarbon untuk bensin mencapai 16,5 juta ton, kebutuhan untuk makanan dan oleo mencapai 13,8 juta ton. Jika ditotal sudah mencapai 43 juta ton.
“Justru yang perlu dipikirkan adalah menggenjot produksi, salah satunya melalui program peremajaan sawit rakyat [PSR],” kata Bernard.
Advertisement
Permintaan oleokimia Naik
Sedangkan, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat menjelaskan permintaan oleokimia di dalam negeri akan meningkat antara 165 ribu-168 ribu ton setiap bulan sepanjang tahun ini. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri itu, dibutuhkan upaya hilirisasi sawit.
“Pertumbuhan domestik rerata 10 persen-12 persen sehingga dalam setahun dapat mencapai 1,98 juta-2 juta ton,” ungkap Rapolo.
Guru Besar IPB University, Purwiyatno Hariyadi mengungkapkan sawit sebagai bahan makanan berkontribusi dalam pemecahan masalah gizi dunia. Hingga saat ini sekitar 75%-85% penggunaan sawit untuk sektor pangan.
Dia menjelaskan, sejatinya sawit memiliki tiga keunggulan, yakni bersifat versatile (produk serba guna), bebas trans fat, dan kaya fitonutrien (vitamin A dan E), yang berguna untuk mengisi kebutuhan gizi di Indonesia dan dunia. “Hal ini merupakan keunggulan olahan sawit bagi pangan,” kata Purwiyatno.
Di sisi lain, limbah sawit pun kini mulai dipergunakan bagi sumber energi ramah lingkungan. Sebagai limbah industri, cangkang kelapa sawit menjadi solusi dari faktor penghambat produksi biomassa.
Pasokan cangkang kelapa sawit yang melimpah (mencapai 2,4 juta ton per tahun pada 2019 menurut data Badan Pusat Statistik) menjadi alasan penting penggunaan biomass ini untuk co-firing PLTU di Indonesia.