Liputan6.com, Jakarta - Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Joko Prihanto belum bisa melelang aset yang disita dari keluarga Cendana. Aset tersebut antara lain Gedung Granadi dan Vila Megamendung.
"Belum ada informasi dari teman-teman KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). nanti diniformasikan pada saatnya," kata Joko Prihanto dalam diskusi, Jumat (18/4/2021).
Baca Juga
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menyita aset Yayasan Supersemar milik keluarga Cendana berupa Gedung Granadi di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Selain itu, PN Jaksel juga menyita vila milik Yayasan Supersemar di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.
Advertisement
Penyitaan tersebut dilakukan guna menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) atas gugatan Kejaksaan Agung terhadap yayasan milik keluarga Cendana tersebut.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sederet Aset Keluarga Cendana yang Bakal Dikelola Negara
Sebelumnya, pemerintah mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dari Yayasan Harapan Kita (YHK) milik Keluarga Cendana. Dua tahun sebelumnya, yayasan lain milik Keluarga Cendana juga menjadi sorotan terkait aset-asetnya yang disita oleh pemerintah.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2018 menyita aset Yayasan Supersemar yang didirikan oleh Presiden ke-2 RI, Soeharto, berupa Gedung Granadi di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain Itu, PN Jaksel juga menyita vila lain milik yayasan tersebut yang berada di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Luas tanah di lokasi vila 300 meter persegi.
"(Aset di Megamendung berupa) vila, berbentuk rumah, sudah disita tanah dan bangunannya," ungkap Direktur Pertimbangan Hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) saat itu, Yogi Hasibuan, di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11/2018).
Penyitaan vila tersebut berbarengan dengan Gedung Granadi pada November 2018. Selain itu, PN Jaksel juga menyita 113 rekening dengan nilai berkisar Rp 242 miliar milik Yayasan Supersemar.
Yayasan Supersemar digugat oleh Kejaksaan Agung secara perdata pada 2007 atas dugaan penyelewengan dana beasiswa pada berbagai tingkatan sekolah, yang tidak sesuai serta dipinjamkan kepada pihak ketiga.
Pada Maret 2008, Kejaksaan Negeri Jaksel telah mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Februari 2009.
Begitu pula pada tingkat kasasi, MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Oktober 2010. Namun ternyata terjadi salah ketik terkait jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Yayasan Supersemar kepada pemerintah. Jumlah yang seharusnya ditulis sebesar Rp 185 miliar menjadi hanya Rp 185 juta, sehingga putusan itu tidak dapat dieksekusi.
Kejaksaan Agung lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada September 2013. Permohonan tersebut dikabulkan oleh MA dan memutuskan bahwa Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi ke negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Sementara untuk kasus TMII, negara merupakan pemilik sah dari kawasan taman wisata budaya tersebut sejak awal. Namun berdasarkan Keputusan Presiden nomor 51 tahun 1977 tanggal 10 September 1977, penugasan dan pengelolaannya dilakukan oleh Yayasan Harapan Kita (YHK). Hingga akhirnya pemerintah kembali mengambil alih agar pengelolaannya agar lebih maksimal.
Advertisement