Liputan6.com, Jakarta - Industri Petrokimia di Indonesia adalah salah satu industri yang berfungsi sebagai tulang punggung industri dalam negeri. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada Agustus 2020 kemarin menyampaikan bahwa Kementerian Perindustrian memasukkan industri petrokimia sebagai salah satu prioritas dalam program industri 4.0.
Agus juga menyampaikan bahwa industri petrokimia merupakan pondasi industri nasional sejajar dengan industri agro serta industri logam dasar dan bahan galian non-logam, diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Total nilai investasi pada kuartal ke-II tahun 2020 di industri ini juga mencapai Rp 6,05 Triliun.
Baca Juga
Selain itu, industri petrokimia juga masuk dalam kategori industri hijau oleh Kemenperin. Proses produksi industri yang masuk kategori industri hijau adalah dengan menerapkan upaya efisiensi dan efektivitas terhadap penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.
Advertisement
Industri petrokimia juga menempatkan proses produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik, Olefin dan Aromatik (INAPLAS), Suhat Miyarso. INAPLAS merupakan asosiasi utama di industri petrokimia.
“Industri petrokimia memegang peranan penting untuk perkembangan industri dalam negeri, karena berbagai produk petrokimia diperlukan untuk produk-produk sektor hilir seperti furniture rumah tangga, pipa air, kabel listrik, kemasan makanan dan minuman, otomotif, perlatan medis, perlengkapan pertanian, alat perikanan dan lain sebagainya,”ujar Suhat Miyarso.
Mengenai permasalahan pengelolaan sampah plastik yang kini sedang menjadi isu, INAPLAS mengusung konsep circular economy sebagai salah satu solusi.
“Seiring dengan hal ini, kami di pihak industri juga terus mengadvokasikan konsep circular economy, di mana setiap bahan plastik yang telah dipakai selalu di daur ulang dan diproses kembali agar tetap berguna,”sambung Suhat Miyarso.
Suhat Miyarso juga menyampaikan bahwa berbagai anggota INAPLAS sudah masuk dalam kategori PROPER hijau dan emas, yang menunjukkan bahwa proses produksi industri tersebut telah mematuhi prinsip-prinsip berkelanjutan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.
“Dalam proses produksi, industri kami cukup ketat mematuhi peraturan-peraturan dari KLHK dan Kemenperin. Contohnya, seluruh proses produksi di pabrik menerapkan konsep zero waste. Dalam aspek lingkungan dan sosial, anggota kami juga telah menerapkan teknologi Enclosed Ground Flare atau teknologi suar tanpa asap yang membakar 220 ton hidrokarbon per jam dengan menggunakan metode pembakaran tertutup tanpa menyebabkan radiasi panas dan radiasi udara,” kata Suhat Miyarso.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Konsep Industri Hijau
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam. mengungkapkan, pihaknya telah mengajak sektor binaannya untuk mengimplementasikan konsep industri hijau.
"Konsep pembangunan industri hijau adalah mengedepankan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, sehingga selaras dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memberi manfaat bagi masyarakat," ungkapnya.
Menurutnya pendekatan industri hijau yang dapat dilakukan oleh perusahaan, antara lain melalui tindakan hemat dan efisien dalam pemakaian sumber daya alam, air dan energi. Selain itu, penggunaan energi alternatif, penerapan prinsip 4R (reduce, reuse, recycle dan recovery), penggunaan teknologi rendah karbon, serta meminimalkan timbulnya limbah.
"Upaya-upaya yang dilakukan Kemenperin di antaranya melaksanakan sosialisasi, bimbingan teknis, dan fasilitasi kepada pelaku industri untuk melakukan pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan peraturan tersebut," paparnya.
Di samping itu, Khayam mengatakan upaya untuk menciptakan industri yang berwawasan lingkungan juga tertuang pada Making Indonesia 4.0. Peta jalan tersebut menyebutkan salah satu program prioritasnya adalah mengakomodasi standar sustainability di sektor industri.
“Untuk mengakselerasinya, perlu pemanfaatan teknologi digital sehingga bisa lebih efisien dengan hasil yang maksimal,” jelasnya.
Lebih lanjut Khayam mengatakan hal tersebut juga diterapkan dalam industri kimia 4.0, di antaranya melalui peningkatan kapasitas produksi petrokimia dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor, membangun industri kimia yang kompetitif dengan memanfaatkan sumber daya migas dan optimalisasi lokasi zona industri, termasuk pembangunan lokasi produksi kimia yang lebih dekat dengan lokasi ekstraksi gas alam.
"Berikutnya, mengadopsi teknologi industri 4.0 dan mempercepat kegiatan litbang untuk mendorong produktivitas, serta mengembangkan kemampuan produksi kimia generasi berikut dalam produksi bahan kimia yang ramah lingkungan," pungkasnya.
Di tempat berbeda, Dosen Institute Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin mengatakan daur ulang sampah domestik untuk keperluan pemenuhan bahan baku perlu untuk terus ditingkatkan. Selain berguna untuk menjaga lingkungan, hal itu bisa menjadikan industri menerapkan pola manajemen industri hijau.
Namun, Akhmad Zainal mengatakan untuk mewujudkan hal itu tidak mudah. Dibutuhkan kesadaran kolektif di tengah masyarakat terkait pengelolaan sampah yang baik dan benar. Selain itu juga dibutuhkan infrastruktur pendukung pengelolaan sampah atau limbah industri milik pemerintah yang kini jumlahnya masih sangat minim.
"Tantangan lainnya adalah tidak adanya insentif yang diberikan bagi industri yang telah menerapkan EPR (extended producer responsibility) dan industri daur ulang," katanya.
Akhmad Zainal mengatakan persoalan sampah industri khususnya sampah plastik menjadi persoalan yang sangat rumit di Indonesia. Pengelolaan sampah industri baik sampah plastik atau sampah lainnya dibutuhkan kolaborasi dan kerja sama semua pihak. (*)
Advertisement