Liputan6.com, Jakarta Harga komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) global berfluktuasi. Harga komoditas ini sempat menyentuh ke posisi tertinggi di kisaran 4.000 ringgit per ton sejak akhir 2020.
Kini harga komoditas CPO global terkoreksi. Harga CPO global terkoreksi hingga 363 poin untuk kontrak Agustus 2021. Posisi harga CPO kini berada pada kisaran 3.663 ringgit per ton.
Baca Juga
Lembaga riset Fitch Solutions memperkirakan pada 2021, harga CPO global bakal berada di kisaran 3.400 ringgit per ton. Angka ini lebih tinggi dibandingkan estimasi yang dikeluarkan Fitch Solutions sebelumnya pada level 3.050 ringgit per ton.
Advertisement
Kendati demikian naik turunnya harga sawit dinilai tidak mengurangi momentum bagi calon emiten sawit yang ingin melantai di bursa pada tahun ini.
Hal ini karena penawaran saham perdana dari emiten sawit tetap dinanti investor lantaran menjanjikan kinerja dan prospek pasar yang cerah.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menilai jika kondisi harga tersebut masih dalam taraf wajar. Sebab, melesatnya harga CPO sejak akhir tahun lalu dirangsang banyak faktor seiring pandemi yang terjadi sejak 2020.
Harga yang melesat tinggi, menurut Hans, merupakan imbas perekonomian yang terhenti. Dari sisi distribusi mengalami pukulan berat.
“Kalau diamati, [tahun ini] ekonomi mulai jalan tapi bahan baku belum masuk. Selama lockdown ekonomi jalan tapi bahan baku tidak datang, sehingga 2021 waktu mulai jalan lagi ekonomi, kekurangan bahan baku. Karena itu permintaan bahan baku di berbagai negara meningkat makanya demand tinggi mendorong harga naik, tapi yang naik lebih banyakbiaya transportasi,” jelas dia.
Hans menilai akan terjadi siklus harga untuk komoditas seperti sawit hingga komoditas energi lainnya antara lain batu bara. Namun, lanjutnya, untuk batu bara akan sulit bergerak karena didera isu lingkungan yang lebih berat dibandingkan sawit.
Di sisi lain, permintaan sawit akan terus ditopang dengan adanya upaya hilirisasi komoditas tersebut. “CPO jadi menarik karena ada isu B20 dan B30. Meski terus ada black campaign dituding tidak ramah lingkungan. Dan lagi, harga CPO paling murah dari 17 minyak nabati,” terangnya.
Walau demikian, hal tersebut tidak mengurangi momentum bagi calon emiten sawit yang berhasrat melantai di bursa pada tahun ini.
Menurut Hans, IPO dari emiten sawit tetap dinanti para investor karena menjanjikan kinerja dan prospek pasar yang cerah.
“Jadi kalau mau bilang komoditas bagus yang mau IPO kalau memenuhi standar aturan, pembukaan lahan dan lainnya yang sesuai aturan standar, bisa jual harga tinggi dan saham bagus,” tegasnya.
Saksikan Video Ini
Perusahaan yang Melantai di Bursa
Sejauh ini, produsen sawit nasional perlahan memperkuat posisi dan rantai pasok domestik seiring proses hilirisasi produk yang tengah berjalan kencang.
Permintaan domestik produk sawit meningkat sejalan dengan penggunaannya sebagai bahan baku bagi sektor pangan, kosmetik, dan energi.
Sepanjang tahun ini setidaknya dua perusahaan di bidang perkebunan dan industri kelapa sawit telah melantai di bursa. PT FAP Agri Tbk (FAPA) menjadi perusahaan pertama yang mencatatkan saham pada awal 2021, tepatnya 4 Januari lalu.
Selain itu, perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Group Triputra, Triputra Agro Persada berhasil menjadi emiten sawit yang melantai di BEI pada 12 April 2021.
Prospek pasar yang cerah tampaknya akan menjadi pendorong bagi perusahaan-perusahaan perkebunan dan industri sawit untuk listing di pasar modal pada tahun ini.
Salah satu pemain perkebunan dan industri sawit yakni PT Tunas Sawa Erma Group dikabarkan akan melantai di bursa, menambah ramai daftar emiten sawit.
Terpisah, Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono sebelumnya mengatakan asosiasi optimistis terjadi peningkatan produksi pada tahun ini. Hal itu, sepadan dengan pertumbuhan yang semakin besar terhadap komoditas sawit.
“Tahun ini kami optimis produksi minyak sawit 2021 akan naik signifikan karena pemeliharan kebun yang baik, cuaca yang mendukung, harga yang menarik sehingga produksi 49 juta ton untuk CPO dan 4,65 juta ton untuk PKO [palm kernel oil/minyak inti kelapa sawit],” ujarnya.
Lebih jauh, dia menilai peningkatan itupun sesuai dengan niat pemerintah melaksanakan mandatori B30, di mana konsumsi biodiesel sebesar 9,2 juta kilo liter yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit.
“Selain itu ada permintaan dari industri lainnya 2 juta ton untuk domestik dan ekspor 4,5 juta ton,” tutup Joko
Advertisement