Liputan6.com, Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020. Dalam ringkasan laporannya, lembaga ini mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.
Tercatat, jumlah utang yang gigantik ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF).
Dalam penjelasan hasil revisi atas kesinambungan fiskal, BPK mengatakan pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.
Advertisement
Baca Juga
"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," jelas BPK, kemarin.
Lalu dari mana utang pemerintah tersebut?
Dikutip dari Buku APBN Kita edisi Mei 2021, Kamis (24/6/2021), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di angka Rp6.527,29 triliun. Posisi utang ini setara dengan 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Utang pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,74 persen dan pinjaman sebesar 13,26 persen.
Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp 5.661,54 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 4.392,96 triliun dan valas Rp 1.268,58 triliun.
Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp 865,74 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 853,42 triliun.
Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp 328,59 triliun, pinjaman multilateral Rp 480,81 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp 44,02 triliun.
Laporan BPK
Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.
Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melebih rekomendasi IDR 4,6 hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 hingga 10 persen.
"Rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 hingga 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 hingga 150 persen," tulis BPK.
Adapun saat ini, utang pemerintah tercatat mencapai Rp 6.527,29 triliun atau sekitar 41,18 persen terhadap PDB.
Saksikan Video Ini
Realisasi Pembiayaan Utang
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi pembiayaan utang mencapai sebesar Rp 410,1 triliun selama April 2021 atau setara 34,83 persen dari target Rp 1.117,4 triliun. Angka ini naik 80,83 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp Rp 226,8 triliun
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pembiayaan utang yang mencapai Rp410,1 triliun berasal dari penarikan utang baru melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 416,7 triliun atau naik 79,90 persen dibandingkan April 2020. Penerbitan SBN ini sudah 34,52 persen dari target dalam APBN 2021 sebesar Rp 1.207,3 triliun.
Bahkan pembiayaan utang juga dipenuhi dari total pembelian lianoleh BI melalui SKB I mencapai Rp 108,43 triliun dalam bentuk SUN Rp 68,83 triliun dan untuk SBSN mencapai Rp39,6 triliun.
“Penerbitan SBN neto merupakan startegi untuk memanfaatkan momentum pasar keuangan yang masih kondusif dan mengantisipasi dinamika likuiditas,” ujarnya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Selasa (25/5).
Advertisement
Pemerintah Pastikan Kelola Utang Secara Hati-Hati
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu memastikan bahwa pemerintah terus menjaga utang dalam batas aman. Utang akan dikelola secara hati-hati dan makin efisien.
Febrio mengakui bahwa pembiayaan utang pemerintah mengalami peningkatan signifikan sejak 2020. Peningkatan tersebut seiring dengan langkah fiskal untuk menangani pandemi covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.
"Ke depan, kami harus terus mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian," katanya dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Rabu (16/6/2021).
Di samping itu, kebijakan fiskal yang extraordinary juga menyebabkan implikasi pada defisit APBN yang harus melebar hingga 6,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, pemerintah akan mengembalikan defisit APBN ke bawah 3 persen PDB seperti amanat UU 2/2020.
Febrio mengatakan pandemi Covid-19 menyebabkan rasio utang melonjak dari 30,2 persen terhadap PDB pada 2019 menjadi 39,4 persen PDB pada 2020. Sementara tahun ini, rasio utang diprediksi mencapai 41,1 persen dari PDB.
“Ke depan kita harus mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian kita jaga rasio utang dalam batas aman yakni 43,76 persen hingga 44,28 persen terhadap PDB,” tuturnya.
Dia melajutkan pemerintah akan meningkatkan efisiensi dari biaya utang, mendorong pendalaman pasar, memperluas basis investor, serta mendorong penerbitan obligasi atau sukuk daerah. Secara bersamaan, pemerintah juga akan menggunakan utang sebagai instrumen menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio utang yang optimal untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
“Utang sebagai industrumen ini untuk menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio utang yang optimal untuk menjaga stabilitas makroekonomi kita," jelas dia.