Liputan6.com, Jakarta - Penelitian Big Data Continuum Indonesia Omar Abdillah melakukan survei respons masyarakat terkait PPN Sembako. Pengumpulan data dilakukan melalui media sosial, Twitter.
Terdapat 86.200 perbincangan dari 63.000 akun selama sepuluh hari sejak draf PPN sembako bocor ke publik. Continuum mencatat perbincangan dilakukan dari 34 provinsi di Indonesia.
Dari hasil survei, Continuum menemukan sebanyak 70 persen masyarakat kecewa dan menolak wacana pajak sembako. Penolakan karena kebijakan dinilai tak berpihak kepada rakyat.
Advertisement
"70 persen masyarakat kecewa dan menolak wacana pajak sembako yang tidak memihak kepada rakyat," kata Omar dalam YouTube Indef, Jakarta, Senin (28/6).
Selain itu, masyarakat juga membandingkan wacana pajak sembako dengan korupsi dana bansos. Kemudian juga dengan kebijakan PPBM yang gratis serta kurang transparannya penggunaan pajak.
"Kebijakan tersebut dibandingkan dengan kebijakan pajak lainnya yang terasa tidak adil," katanya.
Selain itu, masyarakat merasa pemerintah tak transparan mengenai penggunaan pajak dan tata cara pembayarannya. Banyak yang merasa diwajibkan membayar, tapi tidak dibarengi dengan kemudahan pembayaran.
"Dalam perbincangan banyak dibahas mengenai transparansi pembayaran pajak yang dirasa kurang," katanya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengenaaan PPN untuk Sembako Premium Dinilai Tak Pas, Mengapa?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, meminta kebijakan terkait reformasi perpajakan harus dikaji terlebih dahulu secara mendalam oleh pemerintah.
Khususnya terkait rencana perluasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sembako, pendidikan, hingga layanan kesehatan karena berpotensi merugikan masyarakat.
"Kurang tepat kalau instrumen untuk memajaki sembako premium, dan lainnya lewat PPN karena pengawasan relatif sulit," terangnya saat dihubungi Merdeka.com, Jumat (26/6).
Sebaiknya, kata Bhima, pemerintah menggunakan bea masuk untuk meningkatkan tarif atas produk pangan impor. Selain itu, PPN sembako juga berisiko mendorong inflasi pangan secara umum.
"Padahal, inflasi yang tinggi disaat daya beli sedang tahap pemulihan akan kontraproduktif," tuturnya.
Kendati begitu, dia mengakui jika kebijakan terkait reformasi perpajakan yang tengah digaungkan oleh pemerintah ada yang perlu didukung. Seperti kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk individu yang memiliki pendapatan di atas Rp 5 miliar sebesar 35 persen.
"Artinya prinsip keadilan mengejar wajib pajak kakap harus menjadi prioritas," sebutnya.
Kemudian, Bhima juga memberikan lampu hijau terkait rencana pengenaan pajak karbon. Menyusul adanya dua keuntungan yang bakal diperoleh negara yakni terkait penambahan penerimaan pajak sekaligus mengurangi emisi karbon di sektor atau barang yang berisiko bagi lingkungan hidup.
"Sehingga, Indonesia bisa jadi salah satu negara berkembang yang mengadopsi pajak karbon lebih cepat," tutupnya.
Advertisement
Penjelasan Kementerian Keuangan
Seperti diketahui, Rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembako semakin menjadi sorotan setelah pemerintah memutuskan memperpanjang diskon 100 persen Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil baru hingga Agustus 2021.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor menegaskan, kedua hal tersebut tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Kebijakan pemerintah ini bukan persoalan kaya dan miskin.
Neilmaldrin menjelaskan bahwa PPnBM merupakan bentuk dukungan pemerintah agar sektor otomotif tidak kolaps, sehingga ujungnya akan berdampak pada masyarakat yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Kalau ini dibiarkan kolaps, ini juga akan kembali ke masyarakat luas dan pengusaha itu sendiri juga. Jadi sama sekali bukan masalah kaya miskin, atau bukan kelas atas bawah. Yang diberikan ini adalah fokus pemulihan ekonomi yang kita perhitungkan secara hati-hati," jelas Neilmaldrin dalam media briefing pada Senin (14/6).Â