Sukses

Jalan Panjang Reformasi Perpajakan di Indonesia

Reformasi perpajakan di Indonesia pertama kali dilakukan sejak 1983 silam

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, reformasi perpajakan di Indonesia pertama kali dilakukan sejak 1983 silam. Pada waktu itu, pemerintahan di era Presiden Soeharto mengubah sistem perpajakan dari official assesment menjadi self assesment.

Perubahan ini membuat kewajiban wajib pajak (WP) yang tadinya ditentukan oleh fiskus, kini mengharuskan WP diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri kewajibannya. Adapun fiskus sendiri pada saat itu berfungsi sebagai pembina, pelayan, dan pengawas dari kewajiban perpajakan WP tersebut.

Saat itu pemerintah ingin menempatkan WP sebagai subjek, bukan objek dalam tatanan kehidupan bernegara. Secara eksplisit ini mengajak warga negara berpartisipasi aktif dalam membiayai kebutuhan negara untuk mencapai tujuan negara.

"Indonesia adalah negara berdaulat, merdeka dan untuk mencapai tujuannya maka kita sendiri para warga negara ikut bertanggung jawab berpartisipasi mencapai dan mengupayakan tujuan tersebut," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja bersama Komisi XI mengenai RUU KUP secara virtual, Senin (28/6).

Pada masa tersebut dilakukan juga penyederhanaan jenis pajak yang memunculkan pajak penghasilan atau PPh, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM. Serta pajak bumi dan bangunan menggantikan pajak pendapatan, pajak penjualan, pajak kekayaan, dan beberapa jenis pajak lainnya yang sebagian besar adalah warisan dari penjajahan Belanda.

Kemudian reformasi selanjutnya pada 1991 hingga 2020 menggambarkan berbagai upaya untuk melakukan perubahan. Pada 2001 sistem dan ketentuan perpajakan di Tanah Air dilakukan perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk menyempurnakan milestone pertama pada 1983 tersebut. Beberapa undang-undang perpajakan dilakukan amandemen.

Pada periode 2002-2008 reformasi perpajakan difokuskan kepada internal dari direktorat perpajakan. Fokusnya adalah penguatan dan perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada di Direktorat Jenderal Perpajakan dan Bea Cukai.

Pada masa itu seluruh organisasi dan proses bisnis diperbaiki, dan dilakukanlah modernisasi kantor-kantor perpajakan terutama dengan membentuk kantor wilayah dan kantor pelayanan pajak atau KPP yang berfokus kepada KPP WP besar.

Kemudian KPP Madya dan KPP pratama dibentuk dengan melakukan segmentasi WP dalam memberikan pelayanan dan pengawasan, sehingga berbasis pada risiko dan potensial penerimaan pajaknya serta meningkatkan kepatuhan secara sukarela dari WP.

"Reformasi berlanjut, 2008-2016 fokus pada reformasi periode ini adalah menciptakan rezim perpajakan yang mudah dan bisnis friendly sebagai respons atas perlambatan dari perekonomian RI dan dunia sesudah terjadinya global financial crisis," jelasnya.

Sri Mulyani mengatakan, pada periode tersebut berbagai kebijakan insentif, fasilitas, dan kemudahan di bidang perpajakan diterbitkan dan juga untuk mendukung daya beli masyarakat. Beberapa diantaranya yakni meningkatkan aktivitas dunia usaha dan untuk menarik investor baik dari dalam maupun luar negeri. Lalu ada juga kebijakan kenaikan penghasilan tidak kena pajak atau PTKP dilakukan secara beberapa kali untuk mendukung daya beli.

"Dimulai pada 2009, di mana PTKP waktu itu masih 15,84 juta kemudian 2012-2015 terjadi kenaikan PTKP beberapa kali yang kemudian berakhir pada 2016 dimana PTKP kita telah mencapai 54 juta per tahun," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Beri Berbagai Hasil

Bendahara Negara itu mengklaim, perjalanan yang panjang dari reformasi perpajakan sejak 1983 memberikan berbagai hasil. Salah satu penting adalah terjadi perubahan struktur penerimaan negara di dalam APBN. Pada 1983 penerimaan negara didominasi dari penerimaan negara bukan pajak, berasal dari migas 67,6 persen.

Maka pada 2020 jumlah penerimaan perpajakan yang tadinya hanya 22 persen meningkat kontribusinya mencapai 65 persen. "Pajak telah menjadi tulang punggung penerimaan negara. Bahkan 2016 kontribusi perpajakan kita adalah 71 persen di dalam penerimaan negara. Peranan PNBP yang berasal dari SDA turun drastis menjadi hanya 20 persen," jelasnya.

Kemudaian kedua, partisipasi warga negara meningkat akibat adanya reformasi perpajakan. Di dalam waktu membiayai pembangunan terccermin dari WP terdafar, di 2002 baru 2,59 juta orang. Namun pada saat jadi Menteri Keuangan di akhir 2005 akhir pembayar pajak belum mencapai 4 juta, dan sekarang sudah mendekati 50 juta WP.

"Ini penaikan tinggi dan kita akan lihat efektivitasnya. Naiknya WP pribadi merupakan fenomena kesadaran warga negara untuk menjadi WP," tandasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com