Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan mencatat, jumlah wajib pajak (WP) badan yang mengalami kerugian usaha dan tidak dapat membayar pajak mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan, wajib pajak yang melaporkan rugi naik dari 5.199 WP (periode 2012-2016) menjadi 9.496 WP (periode 2015-2019).
Baca Juga
"WP ini yang melaporkan rugi terus menerus namun kita lihat mereka tetap beroperasi dan bahkan mengembangkan usahanya di Indonesia," ujar Menkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dan Menkumham, Senin (28/6/2021).
Advertisement
Adapun, proporsi jumlah SPT badan yang rugi terhadap total SPT badan meningkat dari 8 persen di tahun 2012 menjadi 11 persen di tahun 2019.
Lanjutnya, masih banyak WP badan yang menggunakan skema penghindaran pajak, sementara di sisi lain Indonesia belum memiliki instrumen penghindaran pajak yang komprehensif.
Menurut hasil kajian penghindaran pajak global Organisatian for Economic Co-operation and Development (OECD), 60 hingga 80 persen perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi yang dilakukan perusahaan multinasional. Untuk kasus Indonesia, 37 hingga 42 persen dari PDB dilaporkan sebagai transaksi afiliasi dalam SPT WP.
Potensi penggerusan basis pajak dan penggeseran laba diperkirakan mencapai USD 100 hingga 240 miliar per tahun, atau setara dengan 4 hingga 10 persen penerimaan PPh Badan secara global.
"Oleh karena itu, perlu instrumen untuk menangkal penghindaran pajak secara global yaitu dengan minimum tax dan GAAF (General Anti-Avoidance Rule)," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Duh, Rasio Pajak Indonesia Tak Tumbuh Sejak 1998
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengakui, sejak 1998 sampai 2020 rasio pajak atau tax ratio Indonesia tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Hal ini disebabkan informalitas yang tinggi di dalam perekonomian Indonesia hingga masih rendahnya kepatuhan pajak.
Dia mengatakan minimnya rasio pajak juga tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
“Masih banyak pelaku ekonomi yang belum masuk di dalam sistem, dan juga adanya pemberian berbagai insentif fasilitas perpajakan yang kemudian menggerus penerimaan perpajakan, juga penyebab rasio pajak tidak mengalami pertumbuhan berarti,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI mengenai RUU KUP secara virtual, Senin (28/6).
Bendahara Negara ini menjelaskan kontribusi pajak relatif rendah berasal dari sektor pertanian, konstruksi, dan real estate. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan exemption dan rezim pajak final.
“Kinerja pajak sektor manufaktur juga menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun sektor perdagangan kinerjanya meningkat. Lalu, rasio pajak sektor manufaktur cenderung turun, namun masih relatif tinggi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan, beberapa urgensi pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan. Salah satunya pemerintah melihat basis pajak semakin kuat dan makin merata. Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga dan pendapatan per kapita masyarakat yang sudah semakin tinggi.
Di samping itu, upaya reformasi perpajakan dilakukan karena pemerintah berkepentingan untuk terus menjaga instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sebuah instrumen yang sehat dan berkelanjutan. Di mana penerimaan negara terus diupayakan sehingga menciptakan kapasitas fiskal yang memadai.
Namun, lanjut Sri Mulyani, di dalam rangka membiayai kebutuhan pembangunan yang masih begitu banyak dan luas, risiko APBN juga tetap terjaga dengan utang yang harus dikelola secara penuh. Tujuannya agar mampu untuk terus mendorong dan terus menjalankan proses pembangunan.
"Reformasi perpajakan kita terdiri dari reformasi dibidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi," kata Sri Mulyani.
Advertisement