Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim program pengampunan pajak atau tax amnesty pada periode 2016 hingga 2017 ini menjadi salah satu yang berhasil di dunia.
Bagi Indonesia, tax amnesty menjadi salah satu senjata ampuh pemerintah dalam mengumpulkan pajak.
Baca Juga
"Program pengampunan pajak yang dilakukan tahun 2016 dan 2017 menjadi catatan bersejarah sendiri bagi Ditjen Pajak, termasuk sebagai tax amnesty yang berhasil di seluruh dunia dengan jumlah deklarasi mencapai Rp 4.884 triliun," ujar Menkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dan Menkumham, Senin (28/6/2021).
Advertisement
Angka deklarasi tersebut, menurut Menkeu, sama dengan 39,3 persen alias hampir 40 persen dari PDB Indonesia tahun 2016 yang sejumlah USD 933,2 miliar.
"Bayangkan 40 persen dari GDP kita yang tadinya tidak dideklarasikan, kemudian dideklarasikan di dalam tax amnesty," katanya.
Kemudian total uang tebusan mencapai Rp 114,54 triliun atau sekita 0,92 persen dari PDB Indonesia tahun 2016.
Menkeu menyebutkan, jumlah ini sebagai total tebusan terbesar di antara negara-negara yang pernah melaksanakan tax amnesty.
"Tax amnesty ini juga mendorong kepatuhan pajak, dimana kalau diperhatikan, tingkat kepatuhan SPT tahunannya mencapai lebih dari 91 persen," jelas dia.
Saksikan Video Ini
Duh, Rasio Pajak Indonesia Tak Tumbuh Sejak 1998
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengakui, sejak 1998 sampai 2020 rasio pajak atau tax ratio Indonesia tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Hal ini disebabkan informalitas yang tinggi di dalam perekonomian Indonesia hingga masih rendahnya kepatuhan pajak.
Dia mengatakan minimnya rasio pajak juga tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
“Masih banyak pelaku ekonomi yang belum masuk di dalam sistem, dan juga adanya pemberian berbagai insentif fasilitas perpajakan yang kemudian menggerus penerimaan perpajakan, juga penyebab rasio pajak tidak mengalami pertumbuhan berarti,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI mengenai RUU KUP secara virtual, Senin (28/6).
Bendahara Negara ini menjelaskan kontribusi pajak relatif rendah berasal dari sektor pertanian, konstruksi, dan real estate. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan exemption dan rezim pajak final.
“Kinerja pajak sektor manufaktur juga menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun sektor perdagangan kinerjanya meningkat. Lalu, rasio pajak sektor manufaktur cenderung turun, namun masih relatif tinggi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan, beberapa urgensi pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan. Salah satunya pemerintah melihat basis pajak semakin kuat dan makin merata. Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga dan pendapatan per kapita masyarakat yang sudah semakin tinggi.
Di samping itu, upaya reformasi perpajakan dilakukan karena pemerintah berkepentingan untuk terus menjaga instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sebuah instrumen yang sehat dan berkelanjutan. Di mana penerimaan negara terus diupayakan sehingga menciptakan kapasitas fiskal yang memadai.
Namun, lanjut Sri Mulyani, di dalam rangka membiayai kebutuhan pembangunan yang masih begitu banyak dan luas, risiko APBN juga tetap terjaga dengan utang yang harus dikelola secara penuh. Tujuannya agar mampu untuk terus mendorong dan terus menjalankan proses pembangunan.
"Reformasi perpajakan kita terdiri dari reformasi dibidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi," kata Sri Mulyani.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement