Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi pelaku usaha rokok yang tergabung dalam Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengapresiasi komitmen sejumlah kementerian untuk tidak merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengatakan, pemerintah lebih baik fokus pada penanganan Covid-19 di tanah air untuk pemulihan perekonomian nasional sekaligus juga untuk menjaga kesehatan dan keselamatan bangsa.
Baca Juga
Menurutnya, inisiasi pemerintah dalam merevisi PP 109/2012 sangat disayangkan. Pasalnya, aturan yang sudah ada seharusnya diawasi penerapannya ketimbang harus dilakukan revisi sebelum implementasi. Ia menegaskan, aturan yang ada saat ini sudah cukup, tinggal implementasinya saja yang ditingkatkan,
Advertisement
“Pemerintah harus memastikan penegakan peraturan di lapangan karena pada praktiknya belum sepenuhnya dijalankan. Evaluasi idealnya dilakukan ketika peraturan telah ditegakkan secara optimal,” terang Benny di Jakarta, Senin (28/6/2021).
Benny juga mengingatkan, di tengah pandemi ini industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu industri yang terdampak. Banyaknya tenaga kerja yang terancam kehilangan mata pencaharian hingga berkurangnya angka produksi rokok menyebabkan performa IHT terus terdegradasi. Hingga tahun lalu dikabarkan 63 ribu pekerja sektor IHT terpaksa kehilangan pekerjaan selama 10 tahun terakhir.
“Karena itu sudah sepantasnya pemerintah lebih memperhatikan dan mendengarkan suara dan permintaan kalangan IHT,” pintanya.
Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mensinyalir, jika revisi PP 109/2012 terus didesakkan, akan menambah peluang rokok ilegal semakin marak dan sulit dikendalikan.
“Jika rokok ilegal sampai tak terkendali, upaya pengendalian akan gagal, penerimaan negara pun akan sulit dicapai,” ungkapnya.
Merujuk data resmi GAPPRI, tahun lalu, akibat kenaikan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) yang tinggi telah meningkatkan rokok ilegal sampai 4,8 persen. GAPPRI memperkirakan, rokok ilegal bisa mencapai angka 10-15 persen dari angka yang disampaikan pemerintah.
“Dengan kenaikan tarif cukai tahun 2021 ditambah situasi ekonomi yang masih sulit, peredaran rokok ilegal berpotensi kembali naik,” ujarnya.
Karena itu, Henry berpesan agar pemerintah tidak merevisi PP 109/2012 karena akan mengganggu rantai pasokan industri yang berakibat kepada penyerapan bahan baku dari petani tembakau, petani cengkeh, tenaga kerja dan menurunkan sumber pendapatan pedagang pengecer yang sebagian besar adalah UMKM.
“Dengan dilakukan revisi, akan membuat ekosistem di sepanjang mata rantai IHT terganggu,” imbuhnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Revisi PP 109/2012 Terkait Tembakau Dinilai Tak Mendesak
Pemerintah menilai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tidak mendesak dilakukan.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Atong Soekirman mengungkapkan, hal ini dikarenakan pemerintah saat ini tengah fokus untuk memulihan ekonomi nasional dari dampak Pandemi COVID-19.
"Jadi tidak perlu revisi PP109/2012 ini dilanjutkan, karena memang industri kita, khususnya industri hasil tembakau (IHT) yang adalah industri padat karya ada beberapa yang menggunakan banyak tenaga kerja," kata dia dikutip Selasa (15/6/2021)
Apalagi, dia menambahkan, IHT yang sangat berkaitan dengan PP 109/2012 tersebut tengah tertekan secara ekonomi akibat pandemi COVID-19. Maka jika aturannya berubah-ubah akan menyulitkan industri ini bergerak.
"Karena ada berbagai persepsi tadi, industri revenue, pajak untuk pembangunan, isu kesehatan, isu petani tembakau ini, kami di Kemenko Ekon (Perekonomian) tidak memandang ini urgen," paparnya.
Atong menekankan, industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja atau padat karya. Jika industri ini tertekan tentu akan berpengaruh juga secara langsung bagi para tenaga kerja yang terhubung dengan IHT.
Melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Atong menekankan, pemerintah saat ini juga tengah mendorong agar utilisasi sektor industri termasuk IHT kembali mengalami peningkatan. Maka peraturan yang sudah ada hanya perlu diterapkan secara baik.
Atong mengungkapkan, pada dasarnya inisiasi adanya revisi PP 109/2012 ini berasal dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan terutama untuk menyinggung isu dari sisi kesehatan.
Namun, karena besarnya pro dan kontra dari revisi aturan yang sudah ketat itu, Atong menegaskan perlu juga diperhatikan mengenai keberlangsungan usaha dari industri-industri yang memang menjadi tulang punggung produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
"Jadi pro dan kontranya cukup tinggi namun karena kondisi pandemi COVID dan upaya pemerintah ini sedang pemulihan ekonomi nasional kami di Kemenko Ekon memandang masih belum urgen untuk merevisi PP109 ini," tegas Atong.
Advertisement