Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Kementerian Kesehatan memberikan sanksi tertulis, penutupan sementara usaha, hingga pencabutan izin kepada pelaku usaha di e-commerce dan apotek yang menjual obat terapi covid-19 di atas Harga Eceran Tertinggi (HET)
“Kalau memang ada bukti bahwa apotek dan e-commerce melakukan pelanggaran, bisa diberikan teguran tertulis, kalau berulang bisa pembatasan kegiatan usaha ditutup usaha, hingga dicabut izin usahanya,” kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, kepada Liputan6.com, Selasa (6/7/2021).
Sanksi tersebut layak diberikan lantaran telah melewati HET. Menurutnya, HET itu menjadi acuan pedagang dan konsumen ketika membeli produk obat. Karena setiap harga obat itu sudah tertera dalam kemasan HET-nya.
Advertisement
Dia menyebut memang kenaikan harga selalu terjadi di level pedagang, baik secara online maupun offline di apotek. Seharusnya penjual menjelaskan kepada konsumen alasan harga obat terapi covid-19 naik.
“Ketika ada kenaikan harga itu biasanya di level pedagang atau di apotek. Mestinya pihak apotek bisa memberikan penjelasan kepada konsumen kenapa obat tersebut naik,” ujarnya.
Sudaryatmo berpendapat, naiknya harga produk obat-obatan di tengah pandemi ini disebabkan lantaran lemahnya fungsi pengawasan dari Kementerian Kesehatan. Seharusnya Kemenkes menyediakan akses pengaduan obat untuk konsumen.
“Kalau konsumen mendapati harga obat diatas HET, kemana mengadunya? mestinya Kementerian Kesehatan mensosialisasikan akses pengaduan harga obat, bahkan kalau perlu di apotek-apotek itu dicantumkan informasi keluhan konsumen terkait harga obat, sehingga bisa disampaikan ke Kementerian Kesehatan,” ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Panggil Penjual Obat
Setelah menerima pengaduan dari konsumen, Kementerian Kesehatan bisa memanggil penjual obat, baik apotek maupun pedagang di e-commerce agar bisa diberikan sanksi secara menyeluruh.
“Kenapa apotek bisa menaikkan harga? karena pihak apotek melihat pengawasannya tidak ketat, terbatas. Kelihatannya fungsi pengawasannya tidak berjalan, ditambah sosialisasi terkait harga obat juga tidak berjalan baik,” ujarnya.
Menurut dia, ada dua jenis obat yang diperjual belikan kepada konsumen, pertama obat dengan resep dokter, dan kedua adalah obat bebas. Obat bebas yang dimaksud merupakan obat yang sering dikonsumsi rutin oleh konsumen seperti obat diabetes, dan hipertensi.
“Memang ada obat-obatan konsumsi rutin seperti obat diabetes dan hipertensi, konsumen bisa membeli tanpa resep dokter, tapi apotek wajib mencatat nama konsumennya,” kata dia.
Berbeda dengan obat yang perlu resep dokter, maka diperlukan pengawasan yang ketat agar para penjual tidak menjual diatas HET, baik yang diperjualbelikan di apotek maupun di e-commerce.
“Jangankan di marketplace, di apotek yang offline saja mestinya kalau beli obat tanpa resep dokter itu tidak boleh. Lebih baik konsultasi dengan dokter dan ada resepnya, dan membeli obat di outlet resmi saja,” pungkasnya.
Advertisement