Sukses

HEADLINE: Indonesia Turun Status Jadi Negara Menengah ke Bawah, Strategi Angkat Kembali?

Bank Dunia melaporkan jika peringkat Indonesia turun menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah pada tahun ini akibat pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta Kabar kurang menggembirakan kembali menghampiri Indonesia di tengah perjuangan melawan pandemi Covid-19. Bank Dunia dalam laporannya, menyebutkan jika pada tahun ini peringkat Indonesia turun menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income).

Posisi Indonesia turun karena Gross National Income (GNI) Indonesia hanya sebesar USD 3.979 per kapita. Pemicunya, kondisi ekonomi nasional yang terjadi sepanjang 2020 yang terimbas besar pandemi Covid-19.

Hal disayangkan, mengingat pada tahun sebelumnya, Bank Dunia baru saja memasukkan Indonesia dalam negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income).

Kala itu, Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional bruto Indonesia mencapai USD 4.050 per kapita, sedikit di atas ambang batas minimal yakni USD 4.046.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga relatif tinggi secara konsisten rata-rata 5,4 persen dalam beberapa tahun terakhir sebelum pandemi.

"Indonesia, Mauritius, Rumania, dan Samoa sangat dekat dengan ambang batas klasifikasi pada tahun 2019 dan semuanya mengalami penurunan GNI per kapita terkait Covid-19, yang mengakibatkan klasifikasi lebih rendah pada tahun 2020," mengutip penjelasan Bank Dunia dalam website resminya.

Posisi Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah bersama-sama dengan Aljazair, Angola, Bangladesh, Belize, Benin, Bolivia, Mesir, El Savador, India, Iran, Myanmar, Filipna dan lainnya.

Untuk Belize dengan GNI turun dari USD 4.450 menjadi USD 3.970. Iran dengan GNI dari USD 5.240 menjadi USD 2.870 dan Samoa dari USD 4.180 menjadi USD 4.070.

Di Belize, dikatakan jika penurunan GNI terjadi karena sektor pariwisata negara ini yang sangat terpengaruh dampak pandemi Covid-19

Sedangkan Iran, GNI per kapita diperbarui dengan memperhitungkan nilai tukar yang berlaku.  Indonesia, dan Samoa disebut sangat dekat dengan ambang batas klasifikasi pada tahun 2019 dan semuanya mengalami penurunan GNI.

Bank Dunia membagi perekonomian dunia ke dalam empat kelompok pendapatan yaitu negara-negara berpenghasilan rendah, menengah-bawah, menengah-atas, dan tinggi.

Kata Pemerintah

Pemerintah pun langsung merespons turunnya status Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah ini.

Staf Khusus Presiden (KSP) Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengatakan, sejatinya pendapatan perkapita Indonesia pada 2019 ketika naik kelas sebesar USD 4.050, baru sedikit di atas batas bawah klasifikasi yang ditetapkan Bank Dunia, yakni USD 4.046.

Dikatakan pula perlu diingat jika selain Indonesia, ada beberapa negara yang juga turun posisinya dari Upper Middle Income menjadi Lower Middle Income seperti Belize, Samoa, serta Iran.

Dia menjelaskan bahkan Iran mengalami penurunan GNI cukup dalam yakni dari USD 5.240 menjadi USD 2.870. Tidak hanya itu ada juga beberapa negara yang turun peringkat dari High Income menjadi Upper Middle Income seperti Mauritius, Panama, Romania.

"Banyak negara yang juga mengalami penuruan GNI perkapita, namun karena kondisi tidak berada di dekat income classification thresholds yang ditetapkan maka tidak mengalami perubahan ataupun penurunan kelas," bebernya.

Namun Arif Budimanta menilai, Indonesia masih tetap berada dalam kategori negara berpendapatan menengah.

"Indonesia pada dasarnya tetap terkategori sebagai negara berpendapatan menengah menurut Bank Dunia. Tetapi dalam kategori negara berpendapatan menengah posisi Indonesia terakhir ada di Lower middle Income dan sempat naik kelas ke Upper Middle Income di Tahun 2019," katanya. 

 

Saksikan Video Ini

2 dari 5 halaman

Gara-Gara Pandemi Covid-19

Arif Budimanta menegaskan, turunnya status Indonesia ke negara berpenghasilan menengah ke bawah tak lain disebabkan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak 2020, sehingga menghantam perekonomian nasional.

"Sehingga ketika awal 2020 ekonomi kita terkontraksi karena terdampak oleh Covid-19, maka pendapatan perkapita kita turun menjadi USD 3.870 dan akhirnya kembali ke kategori Lower Middle Income," ungkapnya.

Memang, sejak awal 2020 seluruh dunia termasuk Indonesia masuk dalam jurang pandemi. Di Indonesia, penyelamatan masyarakat dan kesehatan menjadi prioritas, social distancing diterapkan dengan adanya PSBB dan PPKM sehingga mobilitas masyarakat berkurang serta laju pertumbuhan ekonomi terkontraksi.

Hal ini juga diakui Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu. Pandemi Covid-19 merupakan sebuah tantangan yang besar bagi Indonesia.

Krisis kesehatan telah memberi dampak sangat mendalam pada kehidupan sosial dan aktivitas ekonomi global.

"Pandemi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi negatif di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia, di tahun 2020. Dengan demikian maka penurunan pendapatan per kapita Indonesia merupakan sebuah konsekuensi yang tidak terhindarkan," ujarnya.

Kendati begitu, Febrio menyebutkan, melalui respon kebijakan fiskal yang adaptif dan kredibel, pemerintah mampu menahan terjadinya kontraksi ekonomi yang lebih dalam.

Febrio mengatakan, di tengah tekanan dari pandemi, pemerintah terus konsisten menggulirkan kebijakan yang difokuskan pada upaya penanganan pandemi, penguatan perlindungan sosial, serta dukungan bagi dunia usaha, termasuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Menurut catatannya, program perlindungan sosial PEN telah efektif dalam menjaga konsumsi kelompok masyarakat termiskin di saat pandemi. Sehingga di tengah penurunan tingkat pendapatan per kapita secara agregat, masyarakat miskin dan rentan tetap mendapatkan perlindungan yang layak.

Tingkat kemiskinan mampu dikendalikan menjadi 10,19 persen pada September 2020. Tanpa adanya program PEN, Bank Dunia mengestimasi angka kemiskinan Indonesia tahun 2020 dapat mencapai 11,8 persen.

"Artinya program PEN di tahun 2020 telah mampu menyelamatkan lebih dari 5 juta orang dari kemiskinan. Bahkan lebih jauh, program PEN juga mampu menjadi motor pemulihan ekonomi sehingga mampu menciptakan 2,61 juta lapangan kerja baru dalam kurun September 2020 hingga Februari 2021," paparnya.

Dia juga memastikan jika penurunan status Indonesia ini tak berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Sebab, pada tahun lalu pemerintah fokus menjaga masyarakat agar tidak jatuh miskin dan kehilangan pekerjaan.

"Jadi ini bukan sesuatu yang berdampak terlalu signifikan bagi masyarakat kita terutama. Saat ini yang kita lindungi adalah masyarakat kita supaya bisa tetap terlindungi dari Covid-19 dan kemiskinan dan tidak kehilangan pekerjaan," jelas dia.

3 dari 5 halaman

Sudah Diprediksi

Turunnya status Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah disebut sudah diprediksi pengamat ekonomi sebelumnya, sehingga tidak mengagetkan.

Pasalnya posisi Indonesia masuk ke kategori kelas menengah atas berada di batas paling bawah yang rentan jatuh ke kelas menengah bawah.

"Dan pandemik terjadi kita langsung turun kembali ke lower middle income. GDP yang turun namun jumlah penduduk meningkat menyebabkan pendapatan per kapita menjadi turun lebih dalam. Saya kira wajar saja kita turun. Tidak perlu digaduhkan. Ini temporary akibat pandemi," kata Direktur CORE Piter Abdullah kepada Liputan6.com.

Piter bilang, ketika perekonomian membaik, maka Indonesia bisa kembali menjadi high middle income lagi. Pandemi yang masih belum mereda harus segera ditangani.

Namun, jika Indonesia ingin mewujudkan visi 2045 menjadi negara maju, tidak cukup dengan mengembalikan perekonomian Indonesia seperti sebelum pandemi.

"Harus lebih dari itu. Kita butuh tumbuh jauh diatas rata-rata kita selama ini. Kita butuh (pertumbuhan) rata-rata diatas 7 persen setiap tahun. Hal itu perlu perubahan struktural yang sangat kuat. Industri harus benar-benar dibangun dengan sangat baik," ujar Piter.

Senada dengan Piter, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira juga mengatakan jika penurunan peringkat ini tidak mengherankan karena kondisi ekonomi Indonesia yang dilanda pandemi Covid-19.

"Itu sudah bisa diperkirakan sejak 2020 karena ekonomi Indonesia menurun akibat pandemi. Posisi Indonesia juga cukup berat keluar dari jebakan kelas menengah," kata Bhima saat dihubungi Liputan6.com.

Bhima mengatakan, Indonesia akan tetap menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah dan tidak akan bisa menjadi negara berpendapatan atas di tahun 2045 jika tidak mengubah struktur ekonominya.

Saat ini, Indonesia masih memiliki struktur ekspor yang dominan bahan baku dan barang setengah jadi.

Sejak tahun 1980 sampai 2021, Indonesia tetap bergantung pada komoditas kebun dan tambang dengan nilai tambah yang rendah.

"Satu-satunya jalan yang harus dilakukan ialah dengan melakukan transformasi struktural menjadi negara industri maju yang ekspornya dominan produk berteknologi tinggi," kata Bhima. 

Plus-Minus Status Indonesia

Namun, penurunan status Indonesia juga memberikan keuntungan. Dikatakan Indonesia bisa menikmati pinjaman dengan bunga murah dari kreditur seperti Bank Dunia, juga menikmati fasilitas perdagangan seperti GSP dari negara maju.

"Minusnya Indonesia makin susah jadi negara maju karena progressnya mundur satu langkah ke belakang. Harusnya setelah berpendapatan menengah ke atas, berikutnya jadi pendapatan tinggi atau negara maju, ini malah mundur," kata Bhima.

Selain itu, penurunan peringkat ini mengancam jumlah lapangan pekerjaan, karena di satu sisi jumlah angkatan kerja bertambah tapi sektor ekonominya menurun.

4 dari 5 halaman

Dampak ke Ekonomi

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, menurunnya posisi Indonesia menjadi negara menengah bawah tentu akan memberikan pengaruh bagi pelaku usaha dalam persaingan dagang.

“Status negara menengah atas atau menengah bawah akan memberikan pengaruh bagi pelaku usaha dalam persaingan dagang, khususnya di negara maju. Di mana Indonesia belum atau tidak memiliki perjanjian dagang preferensial/FTA-CEPA,” kata Shinta kepada Liputan6.com.

Dia menjelaskan karena umumnya negara maju memberikan preferensi dagang misalnya tarif kelonggaran ketentuan origin criteria, kelonggaran terkait product specific rules, dan lain sebagainya.

Ditujukan kepada negara-negara kategori Least Developed Countries (LDCs) dan negara kelas pendapatan menengah bawah melalui skema GSP atau skema lain yang serupa secara unilateral yakni kebijakan diskresi internalnya sendiri yang bisa diubah atau dicabut sekehendak hati kapan pun.

“Pasar EU contohnya secara gamblang memiliki kebijakan GSP yang mengatur bahwa negara-negara dengan kelas pendapatan menengah atas berdasarkan kategorisasi World Bank selama 2 tahun berturut-turut akan dikeluarkan (“graduation”) dari skema GSP EU,” ujarnya.

Dengan kata lain, bila Indonesia sudah menjadi “negara menengah atas” selama 2 tahun berturut-turut maka Indonesia tidak akan lagi memperoleh manfaat tarif GSP di pasar EU.

Padahal, kata Shinta, GSP sangat penting untuk mempertahankan daya saing ekspor ke EU selama Indonesia belum menyelesaikan dan meratifikasi IEU CEPA.

Sementara, negara maju lain seperti Amerika Serikat juga kurang lebih sama, meskipun aturan GSP-nya tidak secara gamblang menunjukkan korelasi antara status negara menengah atas/bawah dengan pemberian tarif GSP AS.

Namun, pada prinsipnya sama. Di mana, semakin tinggi skala pendapatan suatu negara, skema GSP semakin dikurangi atau dihapuskan seluruhnya agar supplier dari negara tersebut bisa bersaing dengan level playing field yang “normal” atau MFN di pasar negara pemberi GSP.

“Menurut kami ini konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi. Karena toh kita ingin Indonesia menjadi negara yang lebih maju dengan skala ekonomi dan pendapatan yang lebih tinggi. Kita juga ingin ekspor kita bisa memiliki daya saing yang lebih tinggi/terus unggul di pasar apapun kebijakan yang ada di negara tujuan ekspor,” ungkapnya.

Shinta menegaskan yang penting adalah bagaimana Indonesia mengubah pola ekonomi secara internal agar lebih sesuai dengan tuntutan persaingan global yang lebih tinggi. Begitu Indonesia menjadi negara dengan kelas pendapatan yang lebih tinggi.

Dengan Indonesia menjadi negara kelas menengah atas, tentu ekonomi nasional harus lebih efisien, lebih produktif, lebih inovatif dan lebih berdaya saing.

Ini tidak bisa dilakukan kalau Pemerintah hanya mempertahankan kondisi status quo atau hanya bersikap reaktif (cenderung menunggu hingga dampak negatifnya terasa).

“Sebaliknya, Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus lebih proaktif mengantisipasi perkembangan yang ada di dalam dan luar negeri agar bisa dimaksimalkan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Vaksinasi Jadi Kunci

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Eka Sastra mengatakan  program vaksinasi saat ini menjadi salah satu kunci untuk menaikkan kembali status Indonesia menjadi negara menengah atas.

“Langkah-langkah yang harus kita lakukan menurut saya saat sekarang ini, adalah fokus bagaimana melakukan program vaksinasi secara massal, yang meluas. Agar tingkat vaksin rate ini bisa sampai dengan cepat,” kata Eka kepada Liputan6.com

Menurutnya, langkah vaksinasi tersebut merupakan langkah yang sangat vital untuk membangun kepercayaan diri Indonesia dan membuat situasi agar tidak semakin memburuk lagi.

“Jadi saran saya ya kita sama-sama seluruh stakeholder mengkonsolidasikan diri untuk membantu percepatan program vaksinasi, dan tentunya bersama-sama menyiapkan infrastruktur secara bergotong-royong untuk program-program pengentasan covid-19 ini,” ujarnya.

Tak dipungkiri, kata Eka memang faktor utama penyebab turunnya status Indonesia menjadi negara menengah ke bawah sangat dipengaruhi oleh kondisi covid-19, yang menyebabkan turunnya produk PDB, ditambah besarnya utang luar negeri.

Dia berpendapat tidaklah mudah bagi Indonesia untuk keluar dari krisis ini, melainkan diperlukan pendekatan dan solusi yang komprehensif.

Serta diperlukan pola pikir yang out of the box, yaitu bagaimana Pemerintah dapat berpikir dari sudut pandang yang lain sehingga berbeda dengan kebanyakan negara lain.

“Memang tidak mudah bisa melalui krisis yang sudah dibilang juga perlu pendekatan dan solusi yang komprehensif dan out of the box,” pungkasnya.

5 dari 5 halaman

Bisa Naik Kelas Lagi

Meski saat ini status Indonesia tengah turun, tetapi tak menutup kemungkinan Indonesia bisa kembali negara negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income).

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengatakan, Indonesia bisa naik kelas lagi ke negara berpendapatan menengah ke atas 2 tahun ke depan.

Hal ini bisa terjadi jika pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen per tahun dan pertumbuhan penduduk naik 1,2 persen per tahun.

"Dalam waktu tidak terlalu lama yakni 1-2 tahun ke depan kita akan segera kembali masuk ke kategori upper middle income (negara pendapatan menengah ke atas). Meskipun ada peningkatan thresholds (klasifikasi) yang dilakukan World Bank yakni dari (pendapatan nasional bruto) USD 4.046 menjadi USD 4.096," katanya.

Keyakinan serupa juga diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu. Menurutnya, Indonesia bisa kembali meraih status negara berpenghasilan menengah atas di 2022.

"2022 akan lebih tinggi lagi. Apakah kita akan masuk ke upper middle income country lagi tahun depan? Akhir tahun ini harusnya sudah bisa. Apalagi tahun 2022," ujar Febrio.

Menurut dia, pemerintah juga terus berupaya agar dampak pandemi Covid-19 tidak terlalu memberatkan masyarakat.

Perbedaaan tahun ini dengan tahun lalu adalah adanya vaksin yang diyakini mampu membentengi masyarakat dari pandemi.

"Inilah yang kita lakukan bersama-sama, untuk kita bisa berjuang bersama-sama, supaya bisa keluar ancaman ini segera. Kita sudah pernah lakukan di tahun lalu, tahun ini tantangan yang sama berat ini pasti bisa kita lakukan. Bedanya tahun ini dengan tahun lalu, tahun lalu belum ada vaksin tahun ini sudah ada vaksin," katanya.

Demikian pula, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, tetap yakin Indonesia memiliki peluang besar untuk kembali merebut posisi negara berpendapatan menengah atas.

Menurut dia, Pemerintah masih bisa menjaga pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi tidak sedalam negara-negara lain saat menghadapi wabah pandemi Covid-19.

"Turunnya kan sedikit itu. Mustinya peluang sangat terbuka pasca pemulihan," ujar Yustinus Liputan6.com.

Yustinus memastikan, pemerintah saat ini tengah fokus dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menyelaraskan pemulihan kesehatan sekaligus perputaran roda ekonomi masyarakat. Sehingga Indonesia bisa kembali bangkit dari level negara menengah bawah.