Liputan6.com, Jakarta - Pembiayaan utang pemerintah di 2021 diperkirakan lebih rendah dari yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Diketahui, pembiayaan utang dalam APBN ditetapkan Rp 1.117,4 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perkiraaan posisi pembiayaan utang sampai akhir 2021 hanya mencapai Rp 958 triliun. Angka tersebut berdasarkan proyeksi pada semester I 2021 yang hanya Rp 433 triliun dan prognosis semester II Rp 515,1 triliun.
Baca Juga
"Kita hanya akan merealisir utang tahun ini Rp 958 triliun jauh lebih rendah atau sekitar Rp 219 triliun lebih rendah dari undang-undang APBN," kata dia dalam Rapat Kerja Bersama dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (12/7/2021).
Advertisement
Bendahara Negara itu menambahkan, pembiayaan utang 2021 yang berkurang Rp 219,3 triliun tersebut utamanya karena defisit APBN diperkirakan lebih rendah. Serta pemanfaatan tambahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) pada pembiayaan lainnya.
"Defisit APBN secara nominal akan lebih rendah. Penerimaan negara kita bagus belanja kita absorpsinya optimal dan kita lihat dari sisi penggunaan SAL yang kita pakai secara optimal," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Pemerintah Berpotensi Naik Lagi, Sampai Berapa?
Sebelumnya, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan, total utang pemerintah telah mencapai Rp6.417 triliun di 2021. Dibandingkan dengan dia tahun lalu, utang ini meroket 40,4 persen yang sebesar Rp4.571 triliun.
"Total utang pemerintah telah mencapai Rp6.417 triliun, meroket 40,4 persen dibandingkan dua tahun lalu sebesar Rp4.571 triliun," ujar Abra, Jakarta, Senin (28/6/2021).
Sementara itu, rasio utang pemerintah terus menanjak dalam 11 tahun terakhir. Peningkatan terjadi dari 24,4 persen pada 2010 menjadi 41,1 persen pada 2021.
"Rasio utang pemerintah berpotensi melesat naik mengingat kebutuhan belanja negara terutama Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih tinggi di tengah penerimaan negara yang seret," kata Abra.
Di masa pandemi, pelebaran defisit terus meningkat di atas 3 persen. Pemberian toleransi defisit di atas 3 persen agar negara bisa melewati resesi dan pemulihan ekonomi dengan harapan ekonomi bisa normal kembali.
Pelebaran defisit juga diharapkan tak hanya menambah beban tapi diikuti pemulihan yang bisa mendongkrak ekonomi di masa mendatang.
"Sehingga masyarakat tak menjadi tumbal pembayaran defisit. Pemerintah jangan salah menangkap pelebaran defisit diatas 3 persen. Pelebaran itu harus digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat," tandasnya.
Advertisement