Liputan6.com, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah mengaku, tidak setuju jika Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diarahkan untuk memberlakukan pengampunan pajak (tax amnesty) Jilid II.
"Saya tidak setuju jika pembahasan RUU KUP diarahkan untuk memberlakukan pengampunan pajak Jilid II," kata Piter dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XI DPR RI dengan pakar perpajakan secara virtual, Selasa (13/7).
Baca Juga
Piter menjelaskan reformasi perpajakan harus dilihat dalam bentuk perspektif jangka menengah-panjang, bukan jangka pendek. Karena dia ingin yang diharapkan dari RUU KUP adalah perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih optimal dan masyarakatnya bisa lebih sejahtera.
Advertisement
“Dan ketika itu terjadi, persoalan pajak yang dikenakan sembako tidak lagi menjadi sebuah isu. Karena perspektifnya adalah jangka menengah-panjang. Kalau bicara perspektif jangka pendek yang dikenakan saat ini, tentu akan menjadi kontradiktif," katanya.
Sementara dalam jangka pendek Piter ingin menanggulangi dampak Covid-19 dengan memberikan stimulus. "Dan itu tidak mungkin kita sandingkan dengan perspektif jangka menengah-panjang yang di dalamnya ada upaya untuk optimalisasi penerimaan panjang,” ujar Piter.
Dalam kesempatan sama, sebelumnya memang Anggota Komisi XI DPR RI, Sarmuji meminta penjelasan lebih rinci terkait kebutuhan fiskal reformasi perpajakan kepada dirinya. “Kebutuhan fiskal dalam jangka pendek ini saya mohon bisa diberi masukan," pinta Sarmuji kepada Piter.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Reformasi Perpajakan
Sarmuji menjelaskan, agenda reformasi perpajakan memiliki dua kebutuhan, yaitu kebutuhan jangka pendek dan jangka menengah-panjang. Reformasi perpajakan melalui RUU KUP tersebut dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah-panjang.
“Sementara tadi ada Tax Amnesty atau apapun namanya, sebagai jangka pendek. Tapi, Kebutuhan jangka pendek kan juga harus dipenuhi. Kita tahu fiskal kita dalam kondisi sulit saat ini, sehingga pilihannya hanya dua saja,” tegas Sarmuji.
Pilihan pertama adalah hutang semakin besar, yang efek jangka panjangnya sampai 2023. Sehingga, defisit fiskal akan kembali lagi ke bawah 3 persen. “Atau kita menyedot investasi, tapi investasi itu pekerjaan jangka panjang. Tidak bisa kita raih dalam jangka pendek,” tambahnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement