Sukses

Terungkap, Ini Alasan Sri Mulyani Ingin Segera Revisi UU Perpajakan

Kebijakan perpajakan bukan hanya disusun berdasarkan perubahan teknologi informasi tetapi juga banyak kondisi lain seperti perubahan iklim.

Liputan6.com, Jakarta - Reformasi perpajakan menjadi kunci perbaikan penerimaan negara. Reformasi perpajakan sudah dimulai sejak 1983 dengan mengubah undang-undang perpajakan dari sistem pemungutan pajak yang berdasarkan pada official assesment menjadi system self assesment.

Reformasi perpajakan berlanjut saat ini dengan revisi undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Draf RUU KUP ini telah diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian akan dibahas bersama pemerintah.

"Pada saat ini kita sedang membahas dengan DPR sebuah upaya reformasi perpajakan tahap selanjutnya. Karena memang dunia terus berubah dan menciptakan kesempatan namun juga mengancam Indonesia apabila kita tidak berubah," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Jakarta, Rabu (14/7/2021).

Indonesia harus mampu melihat tren perubahan yang terjadi baik dari sisi eksternal maupun internal. Sebab, bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup berdampingan dengan negara lain.

Kebijakan perpajakan, kata Sri Mulyani, bukan hanya disusun berdasarkan perubahan teknologi informasi tetapi juga banyak kondisi lain seperti perubahan iklim yang begitu cepat. Teknologi digital diketahui banyak mengubah cara masyarakat dalam berinteraksi.

"Perpajakan harus kita desain dan redesain sesuai perubahan. Selain karena perubahan teknologi informasi tetapi juga perubahan iklim yang harus kita respons secara cepat. Teknologi digital mengubah cara berinteraksi. DJP dituntut harus mampu melayani masyarakat tetap akuntabel, profesional dan berintegritas," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ekonom: RUU KUP Jangan Diarahkan untuk Tax Amnesty Jilid II

Sebelumnya, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah mengaku, tidak setuju jika Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diarahkan untuk memberlakukan pengampunan pajak (tax amnesty) Jilid II.

"Saya tidak setuju jika pembahasan RUU KUP diarahkan untuk memberlakukan pengampunan pajak Jilid II," kata Piter dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XI DPR RI dengan pakar perpajakan secara virtual, Selasa (13/7/2021).

Piter menjelaskan reformasi perpajakan harus dilihat dalam bentuk perspektif jangka menengah-panjang, bukan jangka pendek. Karena dia ingin yang diharapkan dari RUU KUP adalah perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih optimal dan masyarakatnya bisa lebih sejahtera.

“Dan ketika itu terjadi, persoalan pajak yang dikenakan sembako tidak lagi menjadi sebuah isu. Karena perspektifnya adalah jangka menengah-panjang. Kalau bicara perspektif jangka pendek yang dikenakan saat ini, tentu akan menjadi kontradiktif," katanya.

Sementara dalam jangka pendek Piter ingin menanggulangi dampak Covid-19 dengan memberikan stimulus. "Dan itu tidak mungkin kita sandingkan dengan perspektif jangka menengah-panjang yang di dalamnya ada upaya untuk optimalisasi penerimaan panjang,” ujar Piter.

Dalam kesempatan sama, sebelumnya memang Anggota Komisi XI DPR RI, Sarmuji meminta penjelasan lebih rinci terkait kebutuhan fiskal reformasi perpajakan kepada dirinya. “Kebutuhan fiskal dalam jangka pendek ini saya mohon bisa diberi masukan," pinta Sarmuji kepada Piter.