Liputan6.com, Jakarta - Selama pandemi Covid-19, pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif pajak baik kepada perorangan maupun perusahaan. Insentif tersebut adalah Insentif PPh Pasal 21, Insentif Pajak UMKM, Insentif PPh Final Jasa Konstruksi, Insentif PPh Pasal 22 Impor, Insentif Angsuran PPh Pasal 25, hingga Insentif PPN.
Insentif pajak ini menjadi salah satu pilihan kebijakan di rezim perpajakan suatu negara yang mengurangi kinerja penerimaan. Namun ada dampak lain yang bisa didapat oleh negara dengan langkah ini yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
Sebenarnya apa itu insentif pajak?
Advertisement
Dikutip dari Belasting.id, Senin (31/10/20220, Cambringe Dictionary menjelaskan bahwa insentif pajak sebagai ketentuan perpajakan yang bersifat khusus. Pada umumnya, insentif pajak menyebabkan jumlah pajak yang diterima negara menjadi lebih kecil.
Pengurangan pajak dilakukan pemerintah untuk mendorong perusahaan atau orang pribadi untuk melakukan sesuatu yang akan membantu perekonomian negara. Hal tersebut seperti keputusan investasi.
Sementara itu, United Nations Conference on Trade and Development (UNTAD) menjabarkan insentif sebagai keuntungan terukur yang diberikan kepada entitas bisnis yang memenuhi kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Pemberian insentif sendiri untuk mengarahkan perilaku bisnis sesuai yang telah direncanakan pemerintah, seperti mendukung kegiatan investasi asing atau foreign direct investment (FDI).
Pada negara ekonomi maju, pemberian insentif perpajakan dihitung sebagai belanja tidak langsung pemerintah atau lebih sering disebut sebagai belanja perpajakan atau tax expenditure.
Pemerintah Indonesia mulai membuat laporan belanja perpajakan 2016-2017 yang terbit pada 2018. Laporan belanja perpajakan kemudian rutin diterbitkan setiap tahun.
Secara umum, Kemenkeu menetapkan belanja perpajakan sebagai penerimaan perpajakan yang hilang atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan umum.
Belanja perpajakan di banyak negara dianggap sebagai kebijakan fiskal yang keluar dari norma perpajakan yang berlaku secara umum. Hal ini kemudian menimbulkan shortfall terhadap penerimaan perpajakan.
Sederet Insentif Pajak yang Diperpanjang hingga Akhir 2022
Pemerintah resmi memperpanjang periode pemberian insentif pajak hingga akhir tahun 2022. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan bahwa perpanjangan insentif ini merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah kepada Wajib Pajak (WP) yang terdampak pandemi Covid-19.
“Pemerintah inginnya dengan dukungan ini pemulihan dan penanganan Covid-19 menjadi lebih cepat,” ungkap Neil dalam rilisnya, Jumat (22/07/2022).
Adapun insentif yang diperpanjang adalah insentif kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 226/PMK.03/2021 yang berakhir 30 Juni 2022 melalui penerbitan PMK-113/PMK.03/2022 dan insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi berdasarkan PMK-3/PMK.03/2022 yang berakhir pada akhir Juni 2022 melalui penerbitan PMK-114/PMK.03/2022.
“Untuk jenis insentif yang diperpanjang itu semuanya, tidak ada perubahan,” jelas Neil.
Lebih lanjut Neil menjelaskan, insentif kesehatan yang terdapat dalam PMK-226/2021, yaitu insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas penyerahan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19, pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor, pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22, dan fasilitas PPh bagi sumber daya manusia di bidang kesehatan, semua diperpanjang sampai dengan 31 Desember 2022.
Hal yang sama juga berlaku untuk insentif pajak yang ada di dalam PMK-3/2022, yaitu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor (72 KLU), pengurangan angsuran PPh Pasal 25 (156 KLU), dan PPh final jasa konstruksi (DTP), semua diperpanjang sampai dengan Desember 2022.
Advertisement
Perubahan Ketentuan
Selain mengatur perpanjangan periode pemberian insentif perpajakan, kedua PMK tersebut juga memiliki beberapa perubahan ketentuan.
Pada PMK-113/PMK.03/2022 juga mengatur beberapa pokok perubahan dari aturan sebelumnya.
Beberapa pokok perubahan tersebut adalah relaksasi pelaporan faktur pajak pengganti atas faktur pajak tahun 2021 dan 2022 menjadi paling lama 31 Desember 2022 dan 31 Desember 2023, penegasan untuk WP memungut PPN terutang jika diperoleh data dan/atau informasi bahwa pemanfaatan fasilitas tidak memenuhi ketentuan, penegasan kepada WP untuk hanya dapat memilih memanfaatkan pembebasan dari pengenaan PPN atas vaksin, obat, dan barang lainnya atau memanfaatkan insentif PPN dalam PMK ini, serta penegasan untuk mengajukan kembali permohonan Surat Keterangan Bebas untuk dapat memanfaatkan insentif ini.
Sementara itu, untuk PMK-114/PMK.03/2022 ketentuan yang berubah dari beleid sebelumnya yaitu perubahan pihak pelapor realisasi PPh final jasa konstruksi DTP.
Jika sebelumnya adalah pemotong pajak, yaitu satuan kerja yang melakukan pembayaran dalam pelaksanaan Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI), sekarang Penanggung Jawab, yaitu Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.