Sukses

Pelaku Usaha Pariwisata Kesulitan Bayar Utang Jika Tak Ada Intervensi

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani menuturkan, perlu ada prioritas vaksinasi untuk dukung sektor usaha.

Liputan6.com, Jakarta - Sektor pariwisata menjadi salah satu yang paling terpukul dari berlangsungnya pandemi COVID-19. Hal ini lantaran pergerakan utama sektor ini berasal dari mobilisasi masyarakat.

Sementara pemerintah menerapkan pembatasan mobilitas selama pandemi COVID-19. Bahkan, 40 persen tenaga kerja di sektor pariwisata juga terancam kehilangan pekerjaan mereka akibat mandeknya sektor pariwisata.

"Ini yang buat kita prihatin di sektor pariwisata,” kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani dalam Investor Daily Summit 2021, Kamis (15/7/2021).

Dia menuturkan, sektor pariwisata tidak akan pulih jika pandemi tidak ditangani secara cepat. Asumsinya, jika pandemi COVID-19 dapat ditekan, pergerakan masyarakat akan berangsur membaik sehingga sektor pariwisata mulai bisa bernapas.

Untuk mencapai itu, Hariyadi memaparkan perlu adanya prioritas vaksinasi secara secara cepat, masif, dan menggunakan vaksin dengan efikasi yang tinggi. Namun sayangnya, vaksinasi yang saat ini masih terus berlangsung mengalami sejumlah kendala dalam implementasinya.

"Di lapangan vaksinasi itu banyak sekali masalahnya. Vaksinnya boleh ada, tapi vaksinatornya jadi masalah tersendiri. Banyak yang terkendala dengan anggaran pemerintah yang lambat Sehingga kami dengan teman-teman dari dunia usaha mengambil inisiatif membantu… terpaksa kita membiayai sendiri vaksinatornya karena pemerintah kesulitan,” beber dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Konektivitas Antar Daerah

Pelonggaran perjalanan wisata nusantara dan mancanegara dengan prokes yang ketat juga bisa menjadi pilihan untuk menggerakkan sektor pariwisata. Namun sekali lagi, hal ini tergantung pada perkembangan risiko COVID-19 di tanah air.

"Sebetulnya beberapa negara sudah syaratkan vaksin, karantina, dan sebagainya. Ini bisa kita lakukan dengan catatan kita harus selesaikan vaksin,” ia menambahkan.

Tak kalah penting, yaitu menjaga konektivitas antar daerah. Kemudian juga penyelamatan usaha pariwisata dengan kelonggaran restrukturisasi hutang disesuaikan dengan kemampuan pelaku usaha membayar utang.

"Intinya POJK 11/2020 ini tidak selesaikan masalah mendasar karena itu sifatnya hanya memindahkan bunga ke belakang tapi dalam restrukturisasi yang betul-betul harus fit in belum ada,” kata Hariyadi.

"Ini masalah. Karena kalau pemerintah tidak melakukan intervensi, maka banyak perusahaan pariwisata akan dibangkrutkan oleh bank atau krediturnya," ia menambahkan.

Di sisi lain, pemerintah sebelumnya juga telah memberikan diskon listrik untuk sektor pariwisata. Namun hal ini dinilai belum secara signifikan meringankan beban usaha pariwisata, sementara tidak ada pemasukan.

"Biaya infrastruktur sayangnya belum ada perkembangan. Kami masih bayar PLN dengan diskon hanya 1,5 persen,” kata dia.

Hariyadi enggan membandingkan insentif yang diterima sektor pariwisata dibandingkan sektor lain seperti manufaktur. Hal itu merujuk pada sumber pendapatan pariwisata yang memang asalnya dari pergerakan masyarakat.

“Kita beda dengan manufaktur. Kalau otomotif bisa diberikan insentif fiskal. Pajak PPnBM dihilangkan, harga turun, orang beli. Kalau pariwisata nggak bisa. karena orangnya harus bergerak,” tandasnya.