Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menilai inkonsistensi kebijakan pemerintah membuat pengusaha sektor ritel dan pusat perbelanjaan menjadi khawatir
Sektor usaha ritel dan pusat perbelanjaan seperti mal terus dibatasi dalam peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Menanggapi hal itu, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menilai mal masih bisa bertahan hingga pandemi usai, namun ada syaratnya.
Baca Juga
Pengusaha, sekaligus Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja menerangkan kalau banyak mal yang terdampak sangat berat karena pandemi. Bahkan, ada beberapa pengelola mal yang sengaja menjual asetnya karena sudah tak mampu lagi bertahan.
Advertisement
Sementara itu, ia menilai kalau sebagian besar mal masih bisa bertahan hingga pandemi usai, tentunya dengan bantuan pemerintah dan beberapa syarat lainnya. Pasalnya, ia menilai kalau mal perlu menjadi pusat interaksi antara pengunjung, dan mal perlu menjamin itu.
“itu terbukti selama pandemi itu, berkerumun dsb karena naluri manusia ia ingin interaksi secara langsung. Sangat tidak wajar kalau berdiam di rumah, menyendiri, tidak interaksi tidak sosialisasi,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (22/7/2021).
Ia menekankan, pusat perbelanjaan kedepannya harus menjadi fasilitas bagi manusia untuk bisa interaksi secara langsung. Dengan begitu, kedepannya prospek pusat perbelanjaan masih baik.
“Mal perlu bisa jadi fasilitas bagi masyarakat untuk interaksi secara langsung,”
Kemudian, menjawab tantangan mal sebagai pusat belanja offline yang melawan marketplace yang notabene beroperasi online, Alphonzus merasa itu bukan sebuah tantangan. Ia menilai kalau online pun sebetulnya bergantung pada pasar offline.
Pada dasarnya, pasar online, menurutnya bersumber juga dari pasar offline. Jadi, keduanya memiliki kesinambungan.
“Menurut saya online tidak mengancam karena DNA pusat perbelanjaan itu offline, kalau marketplace memang DNA nya offline. Justru sebaliknya, pusat perbelanjaan perlu memperkuat DNA nya. Pusat perbelanjaan pun harus mengejar itu, harus serba digital,” katanya.
Pada konteks digitalisasi, kata dia, bukan model penjualannya yang jadi online, tetapi misalnya metode pembayaran dan sistem yang dikelola yang didigitalisasi. Misalnya, dengan menghadirkan sistem pembayaran cashless di kasir bahkan pintu parkir.
“Digitalisasi itu beda dengan konsep jualan. Beda dengan mendigitalisasi seluruh fungsi-fungsi yang digunakan. Tapi bukan jualannya,” katanya.
Ia juga menilai, jika para pengusaha termasuk pengelola mal tak bisa mengejar hal itu, pusat perbelanjaan akan tertinggal digitalisasi di berbagai sektor.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Butuh Bantuan Pemerintah
Sementara itu, terkait dorongan untuk bisa bertahan melewati pandemi, Alphonzus mengatakan perlu bantuan dari pemerintah. Misalnya melibatkan kebijakan yang berpihak kepada pelaku usaha ritel dan pengelola mal. Sehingga, minimal mal bisa kembali dibuka meski dengan peraturan protokol kesehatan yang ketat.
“Ternyata covid ini cukup lama, artinya bagaimana pusat belanja ini bertahan, nah selama bertahan in terus terang perjuangan yang sangat berat,” katanya.
Sejauh ini ia mengatakan untuk bisa bangkit dari dampak covid-19, bagi pelaku usaha sepertinya membutuhkan setidaknya tiga bulan. Itu pun katanya baru meningkat sekitar 10 persen karena ada pembatasan kapasitas sebesar 50 persen dari peraturan pemerintah.
“Kami bukan tipe cengeng, kami kalau punya kemampuan ya akan bertahan sendiri, tapi sekarang kondisinya sudah berat sekali. Yang kami khawatirkan PPKM ini terjadi berkepanjangan,” katanya
Kemudian, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten terkait pembatasan, menurut Alphonzus adalah akar masalahnya. Jadi, sektor usaha pun jadi terdampak karena kebijakan yang kurang konsisten.
“Pemerintah merencanakan beberapa sektor (dibuka) setelah ada penurunan kasus, dasarnya apa? Apa pelonggaran itu karena bukan tempat penyebaran covid? Apa dasar yang jelas? Pusat perbelanjaan (mal) masuk ke kategori ini (bukan Cuma pasar tradisional),” katanya.
Advertisement