Liputan6.com, Jakarta - Menurut Survei International Trade Center di 2016, terdapat berbagai keluhan mengenai non tariff measures (NTM) teknis, inefisiensi sistem, dan penerapan NTM yang masih sering mengakibatkan keterlambatan prosedural di dalam sistem ekspor dan impor Indonesia.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan, keluhan yang ada tersebut harusnya menajdi menjadi bahan evaluasi untuk mereformasi kembali sistem ekspor dan impor di Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan efisiensi sistem ekspor dan impor dengan kembali mengevaluasi kebijakannya, seperti hambatan nontarif NTM tanpa infrastruktur dan sistem yang memadai.
Advertisement
Inefisiensi tersebut disebabkan oleh infrastruktur lokal dan kapasitas anggota staf. Sementara itu, hambatan prosedural yang muncul antara lain karena berulangnya permintaan dokumen, biaya sertifikasi yang mahal, sikap staf yang tidak profesional hingga pungutan tidak resmi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bongkar Pasang Banyak Makan Waktu
Menanggapi hal tersebut, Felippa kembali menambahkan bahwa bentuk inefisiensi lainnya terkait lamanya bongkar muat kontainer (dwelling time) di Indonesia yang bisa berlangsung selama lima hari. Berbeda dengan Singapura dan Hongkong yang hanya memakan 1-2 hari saja.
Kasus yang terjadi dapat berlangsung selama berbulan-bulan, terutama pada jam sibuk. “Hambatan ini perlu diminimalisasikan, seperti meningkatkan kapasitas proses bongkar muat dan pemeriksa,” jawab Felippa ketika menjelaskan perbaikan yang perlu menjadi catatan pemerintah.
Diketahui, bahwa lamanya waktu bongkar pasang sangat dipengaruhi oleh proses perizinan bea cukai dan prosedur inspeksi yang dilakukan pihak pelabuhan.
Jika hal tersebut dibiarkan lebih lama, proses bongkar muat dapat menimbulkan biaya tambahan karena kerusakan dari komoditas yang tidak tahan lama seperti buah-buahan dan sayuran.
Advertisement
Penilaian Berkala
CIPS pun turut merekomendasikan agar pemerintah lebih gencar melakukan penilaian secara berkala pada regulations impact assessment (RIA) atas kebijakan yang diberikan NTM. Kebijakan tersebut melibatkan sektor swasta sebagai pihak yang memiliki informasi yang paling terdampak.
Dengan begitu, hasil RIA bisa digunakan untuk menyederhanakan biaya nontarif yang diberlakukan. Jika RIA menemukan bahwa implementasi NTM memunculkan biaya yang melebihi keuntungan, NTM harus dihapus.
Langkah ini dilakukan bertujuan memastikan tanggung jawab pemerintah terhadap rancangan dari kebijakan mereka dan mendukung proses regulasi yang lebih baik lagi untuk kedepannya,
Melalui RIA, NTM bisa kembali dirancang dengan dampak gangguan perdagangan, setidaknya terhadap mutu atau harga barang. Lalu, rekomendasi terakhir yang diberikan CIPS adalah penggunaan sistem impor otomatis perlu dipertimbangkan.
Sistem tersebut memberikan peluang pihak yang memenuhi persyaratan dapat mengajukan izin melakukan impor.
“Sistem yang dikelola secara transparan akan memudahkan pihak yang mengajukan izin impor menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan pasar, tanpa terhambat oleh birokrasi yang panjang,” tutup Felippa.
Reporter: Caroline Saskia Tanoto