Liputan6.com, Jakarta - Rencana kenaikan tarif cukai rokok pada 2022 dinilai sebagai langkah yang kontra produktif. Pasalnya hal ini tidak mendukung keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) dan semakin melemahkan gerak ekonomi masyarakat di masa pandemi.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Mohammad Nur Azami, menegaskan bahwa rencana tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempertimbangkan daya beli konsumen.
Baca Juga
“Pemerintah harus realistis, lihat kondisi masyarakat di lapangan. UMKM khususnya pedagang mikro butuh pompa ekonomi, sementara daya beli masyarakat mulai lesu. Konsumen jangan lagi dipersulit dengan wacana kenaikan cukai,” ujar Azami dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (16/8/2021).
Advertisement
Seperti diketahui, tarif cukai rokok dikabarkan kembali naik pada tahun depan seiring dengan tingginya target penerimaan negara yang dipatok tumbuh 10,89 persen.
Padahal, kenaikan tarif cukai rokok baru saja dikerek naik tahun ini sebesar 12,5 persen. Menurut dia, pemerintah pun tengah melakukan kajian kenaikan tarif cukai rokok 2021 tersebut, di mana hasil kajian disertakan dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.
Lebih lanjut, Azami memaparkan bahwa ketika pemerintah menerapkan kebijakan cukai rokok yang eksesif kepada IHT, maka sebenarnya yang sedang ditekan tidak hanya industri namun juga konsumen.
“Ketika konsumen membayar cukai, kami telah menunaikan kewajiban kami. Di sisi lain, hak kami ditiadakan. Konsumen sudah memberi banyak ke pemerintah. Jujur saja, cukai tembakau masih jadi andalan khususnya di tengah pandemi Covid-19. Tolonglah, kami jangan dibebani, pengeluaran sudah naik, tapi UMR tidak naik,” jelas Azami.
Dia menekankan bahwa saat ini tidak sedikit pabrikan yang mengurangi tenaga kerja. Begitu juga dengan industri kreatif seperti periklanan, dan transportasi sudah merasakan dampak pandemi.
“Di hilir, ada UMKM baik retail tradisional maupun modern yang sudah terpukul. Dengan daya beli konsumen yang menurun, siapa yang mau beli rokok? Kondisi ini juga harus diwaspadai karena akan menyuburkan rokok ilegal,” tutup Azami.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pemerintah diminta mempertimbangkan secara matang terkait wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Sebab, kenaikan harga ini bukan hanya mengancam industri rokok, tetapi juga para pekerjanya serta petani tembakau.
Kata Konsumen
Sementara itu, Perwakilan dari Masyarakat Konsumen Tembakau (Maskot)\, Endro Guntoro berharap pemerintah lebih memperhatikan suara masyarakat di lapangan.
Pasalnya, kenaikan tarif cukai rokok tentunya akan mengerek harga jual eceran (HJE) rokok ke konsumen. Situasi sulit yang diakibatkan oleh kenaikan tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh konsumen namun juga masyarakat luas.
“Kalau negara tidak memperhatikan suara konsumen, bisa rontok negara ini. Kekuatan tembakau itu salah satunya adalah di masyarakat. Jika konsumen disulitkan karena cukai rokok terus naik, HJE terus naik, maka itu sama saja dengan membunuh pedagang kecil, UMKM dan tidak memberi ruang industri kreatif untuk tumbuh,” ujar Endro, Minggu (15/8/2021).
Dia berharap agar pemerintah jangan hanya fokus pada berbagai pembatasan, peraturan atau perundang-undangan tanpa mendengar masukan dari berbagai pihak secara merata, termasuk dalam hal ini konsumen produk hasil tembakau, petani, buruh, pedagang mikro, makro hingga industri.
Pemerintah sebagai pengambil keputusan, menurut Endro, tidak melihat persoalan tembakau secara utuh. Padahal, mata rantai IHT, termasuk konsumen terus menerus menunjukkan ketaatan yang baik.
“Cukai rokok dinaikkan terus, industri dan konsumen mengikuti. Pembatasan ruang iklan, ruang merokok, dan lain-lain, lagi-lagi industri dan konsumen tetap taat. Padahal jelas ada asas-asas tidak berkeadilan. Kami sebagai konsumen berupaya menyuarakan keluh kesah kami lewat ruang-ruang diskusi,” ungkapnya.
Advertisement