Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak melonjak pada perdagangan Senin (Selasa pagi waktu Jakarta). Kenaikan harga minyak ini menahan penurunan beruntun selamat tujuh hari yang merupakan pelemahan harga minyak mentah terburuk sejak 2019.
Kenaikan harga minyak ini dipicu oleh pelemahan dolar AS. Selain itu, para pelaku pasar juga bertaruh bahwa penjualan ke depannya akan lebih tinggi.
Baca Juga
“Berita tentang nol kasus baru di China tentu saja memberikan daya tarik karena memberikan cahaya tambahan di ujung terowongan Covid-19 sehingga bisa menaikkan permintaan,” kata analis Blue Line Futures.
Advertisement
"Selain itu, Dolar AS telah mundur dari tertinggi baru-baru ini, mendukung lanskap komoditas secara luas."
Mengutip CNBC, Selasa (24/8/2021), harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate, yang adalah patokan harga minyak AS, naik USD 3,50 atau 5,6 persen menjadi di USD 65,64 per barel.
Pada perdagangan Senin harga emas sempat naik lebih dari 6 persen untuk mencapai sesi tertinggi USD 66 per barel, di mana titik itu berada di jalur untuk hari terbaik sejak November.
Lompatan tajam harga minyak ini juga menandai perubahan haluan dari minggu lalu ketika harga merosot hampir 9 persen untuk kinerja mingguan terburuk sejak Oktober.
Sedangkan harga minyak Brent yang menjadi patokan harga internasional naik 5,48 persen atau USD 3,57 menjadi USD 68,75 per barel pada hari Senin, setelah membukukan minggu terburuk sejak Oktober.
Penurunan harga minyak pada pekan lalu terjadi di tengah kekhawatiran perlambatan permintaan karena varian delta Covid-19 menyebar, yang mengarah ke kebijakan locdown di berbagai negara termasuk Jepang dan Selandia Baru.
Selain itu, data ekonomi yang lemah dari China, yang merupakan importir minyak mentah terbesar di dunia, membebani harga minyak. Laporan inventaris AS terbaru juga menunjukkan kenaikan stok bensin serta peningkatan output dari produsen AS.
Terlalu berlebih
Namun beberapa perusahaan di Wall Street mengatakan bahwa pelemahan harga yang terjadi pada minggu lalu tampaknya terlalu berlebihan.
"Kami menemukan kelemahan di harga ini berlebihan dan percaya itu lebih berkaitan dengan psikologi pelaku pasar daripada dengan penurunan data fundamental," kata analis di Commerzbank.
Sementara itu, Goldman Sachs mengatakan bahwa hambatan makro termasuk reflasi mereda dan kekhawatiran Covid-19 di China menutupi latar belakang bullish untuk minyak dan komoditas secara lebih umum.
Advertisement