Sukses

Sejarah Panjang BLBI yang Rugikan Negara hingga Ratusan Triliun Rupiah

Kasus BLBI bermula pada 1997-1998, ketika Bank Indonesia (BI) memberikan pinjaman kepada bank-bank yang hampir bangkrut akibat diterpa krisis moneter.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen menuntaskan kasus penagihan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara ratusan triliun rupiah sejak lebih dari dua dekade. Keseriusan ini diwujudkan lewat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2021 terkait Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Kasus BLBI bermula pada 1997-1998, ketika Bank Indonesia (BI) memberikan pinjaman kepada bank-bank yang hampir bangkrut akibat diterpa krisis moneter. Saat itu, sejumlah bank mengalami masalah likuiditas yang membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi sangat dalam hingga Rp 15 ribu per dolar AS. Kejatuhan rupiah ini membuat utang valuta asing (valas) perbankan membengkak.

Pada Desember 1998, Bank Indonesia kemudian menyalurkan dana bantuan Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, dana BLBI justru banyak diselewengkan oleh para penerimanya. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000, ditemukan kerugian negara mencapai Rp 138 triliun dari dana yang telah disalurkan.

Selang 2 tahun pada 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002. Itu jadi landasan pemerintah mengeluarkan jaminan kepastian hukum kepada para debitur BLBI yang telah melunasi kewajiban, yakni lewat penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN, atau menindak secara hukum bagi yang tidak melaksanakan kewajiban.

Vonis perdana bagi terdakwa kasus BLBI terjadi pada 2003, yang menjerat oknum pejabat BI yang bersekongkol dengan para pemilik bank, seperti Hendro Budiyanto, Heru Supratomo, hingga Paul Sutopo Tjokronegoro yang dijebloskan ke penjara.

Sementara dari pihak penerima dana, sederet nama juga mulai diperiksa dan diadili hingga berlanjut menerima vonis bersalah. Salah satunya Sjamsul Nursalim bersama sang istri Itjih Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Keduanya diduga jadi pihak yang diperkaya dalam kasus BLBI, dan terindikasi merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.

 

2 dari 3 halaman

Pengusutan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kesediaannya untuk bantu mengusut kasus BLBI pada 2008, dan memulai proses penyelidikan terhadap proses pemberian SKL kepada para pengutang per 2013.

Hasilnya, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dijerat dan diadili di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Tak sampai setahun, Arsyad yang divonis 15 tahun penjara pada September 2018 resmi bebas dari rumah tahanan (rutan) KPK pada 9 Juli 2019, menyusul keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasinya.

Pasca penyelesaian masalah yang tak kunjung tuntas tersebut, pemerintah di bawah Presiden Jokowi menugasi Satgas Penanganan Hak Tagih Negara untuk menuntaskan kasus BLBI. Mengutip catatan BPK, Kementerian Keuangan akan terus mengejar dana BLBI dengan total dana sebesar Rp 110,45 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyampaikan kepada Satgas, total dana BLBI Rp 110,45 triliun ini terdiri dari obligor 22 pihak dan 12 ribu dokumen debitur.

"Kita akan terus bersama-sama dengan Satgas mengidentifikasi langkah-langkah untuk bisa melakukan pemulihan kembali atau pendapatan kembali dari BLBI tersebut," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi April 2021.

 

3 dari 3 halaman

Panggil Seluruh Debitur dan Obligor

Baru-baru ini, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut, pemerintah akan memanggil seluruh debitur dan obligor yang berjumlah 48 orang. Adapun jumlah total utang mereka terhadap negara disebut mencapai Rp 111 triliun. Termasuk Tommy Soeharto, yang berutang kepada negara sekitar Rp 2,6 triliun.

"Di atas itu banyak yang utangnya belasan triliun, Rp 7,-8 triliun yang totalnya itu Rp 111 triliun," terang Mahfud dalam siaran video yang dibagikan.

Namun, Mahfud belum merinci siapa saja pengutang yang akan dipanggil terkait kasus BLBI ini, dan hanya mengatakan mereka kini berada tersebar di Singapura, Medan, Bali, dan tempat lainnya. Dia berharap utang 48 obligor dan debitur BLBI kepada negara bisa lunas sebelum masa tugas Satgas habis pada 2023.

"Kalau selesai sebelum itu ya bagus, mungkin nanti akan ada efek pidananya dan sebagainya," ujar Mahfud.