Liputan6.com, Jakarta Banyak yang bersimpati dengan kondisi warga Afghanistan saat ini. Salah satunya, Nasrat Khalid, seorang pengusaha muda asal Pakistan yang tertarik dengan dunia teknologi dan internet sejak masa kecilnya.
Meskipun tumbuh di lingkungan yang tidak dekat dengan hal tersebut, dukungan dari orang tuanya lah yang melahirkan usaha bisnisnya saat ini.
Baca Juga
Sikap optimisme yang dibawanya sebagai motivasi, ia yakin bahwa suatu saat setelah bisnisnya berkembang.
Advertisement
Apa yang dilakukannya selama ini dapat membantu masyarakat Afghanistan melalui pengetahuan dan inovasinya yang menghubungkan Afghanistan ke seluruh dunia.
Situs e-commerce bernama Aseel diwujudkan menggunakan tabungan dan pinjaman senilai Rp 2,52 miliar dari keluarga dan kerabatnya.
Melalui situs ini, perajin di pedesaan dapat menetapkan harga mereka sendiri dan langsung menjual perhiasan, karpet, dan tembikar buat di seluruh dunia.
Sebagian besar perajin yang sudah tergabung adalah wanita yang sudah secara turun temurun menciptakan produk buatan tangan yang mencerminkan budaya dan warisan mereka.
Dalam beberapa bulan terakhir, di tengah sengitnya konflik dan penyerangan dari Taliban, tidak sedikit perempuan yang terusir dari rumah mereka sendiri sehingga harus bertahan hidup sendirian.
Sebanyak 400 ribu warga Afghanistan telah dipaksa meninggalkan rumah mereka pada awal 2021. Menurut Komisaris Tinggi PBB untuk pengungsi, pada akhir tahun lalu sudah terkumpul 2,9 juta orang yang mengungsi.
Situasi menjadi lebih mengerikan sejak pengambilalihan wilayah Kabil dan runtuhnya pemerintahan Afghanistan.
Khalid di usianya yang menginjak 30 tahun tahu bahwa usaha yang dijalankannya dapat menjadi solusi untuk membantu orang-orang di sekitarnya.
“Bayi-bayi membutuhkan susu formula sekarang. Jika menunggu program bantuan kemanusiaan, mungkin akan memakan waktu hingga enam bulan, hal itu akan memakan korban jiwa,” ujarnya melansir dari Al Jazeera, Minggu (29/8/2021).
Khalid dan 20 rekannya memperbarui aplikasi dan platform Aseel siapa pun dapat memakainya untuk menyumbangkan bantuan darurat kepada warga Afghanistan.
Kemudian, ia juga merekrut sukarelawan komunitas untuk membantu mendistribusikan paket secara langsung.
Sejauh ini, perusahaan telah mendistribusikan lebih dari 3.000 paket makanan dan tempat tinggal darurat di provinsi Kabul, termasuk perlengkapan pertolongan pertama dan kebersihan wanita, pakaian, tenda, popok dan susu formula bayi.
“Kami menunggu pengumuman lebih lanjut dari Taliban. Karyawan wanita tidak diizinkan pergi bekerja secara langsung, jadi kami bekerja dari jarak jauh,” kelas salah satu karyawan wanita Aseel, yang meminta namanya tidak dicantumkan.
Sayangnya, Khalid saat ini tinggal di Washington, DC, AS, dan mengatakan bahwa Taliban harus melihat pekerjaan perusahaan itu sebagai bantuan kemanusiaan di saat krisis.
“Platform kami dalam tahap saat ini seharusnya tidak menjadi target Taliban karena sepenuhnya selaras dengan nilai-nilai Islam,” katanya.
Khalid dan timnya optimis dan yakin bahwa mereka mampu melindungi masyarakat Afghanistan dari jauh ke dalam perang saudara.
Rentannya Perekonomian
Sebelum pengambilalihan Taliban, ekonomi Afghanistan berada dalam keadaan rapuh. Pengangguran mencapai 11,7 persen pada tahun 2020, dan 34,3 persen orang dengan pekerjaan hidup dengan kurang dari Rp27.412 per hari.
Faktor tersebut diakibatkan karena pandemi, kekeringan yang terjadi selama perang saudara. Pernyataan tersebut dipaparkan langsung oleh seorang ekonom dan mantan direktur di Kementerian Keuangan Afghanistan Sheela Samimy.
Sejak Taliban mengambil alih pemerintah, pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah membekukan aset bank sentral Afghanistan senilai Rp137 triliun yang disimpan di AS. Lalu, anggota komunitas internasional lainnya telah mengambil tindakan untuk menghentikan aliran uang ke Taliban dan memotong lepas dari sistem keuangan global.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan bahwa kelompok tersebut juga tidak dapat mengakses sumber dayanya, termasuk $460 juta dalam Hak Penarikan Khusus baru yang dialokasikan ke Afghanistan pada hari Senin kemarin.
Aliran bantuan yang terhenti telah memperkuat krisis kemanusiaan, dan banyak keluarga kehabisan uang tunai dan makanan setelah bank tetap tutup selama lebih dari seminggu dan mata uang terus terdepresiasi.
“Kami tidak dapat menanggung pengurangan lebih lanjut dalam nilai Afghan, karena masyarakat tidak akan memiliki kekuatan bahkan untuk membeli bahan makanan pokok.”
Advertisement
Pemberdayaan Komunitas
Menurut data Bank Dunia, hanya terdapat 11 persen warga Afghanistan yang memiliki akses internet pada 2017. Oleh karena itu, Khalid dan timnya ingin memberdayakan komunitas miskin di pedesaan, terutama yang tinggi di daerah tanpa koneksi.
Sebelum bank ditutup, Aseel akan mentransfer dana yang terutang kepada pengrajin, dikurangi komisi 20 persen, dalam bentuk uang tunai atau dompet digital. Dulunya, bisnis ini mengandalkan DHL sebagai rantai pasokan, dan sistem pelacakan dari Bagram Airfield.
Namun, sejak AS mengumumkan penarikan pasukannya, Aseel telah beralih untuk mengirim produk melintasi perbatasan ke Pakistan untuk dikirim ke AS, Australia, dan Inggris.
Tak hanya Khalid, pendiri komunitas Jamshid Hashimi mengatakan kelompok itu masih aktif dan sekarang sedang mengerjakan program untuk memperluas jaringannya ke pengungsi Afghanistan di seluruh dunia.
“Keterampilan teknologi mudah dibawa-bawa. Mereka memberi kesempatan kepada warga Afghanistan yang ingin pindah ke negara lain,” kata Hashimi.
Taliban belum mengomunikasikan bagaimana mereka berniat mengatur bisnis dan ekonomike depan, terutama dalam hal mengatur teknologi dan internet. Hashimi berharap mereka menerima ini seperlunya.
“Pengkodean, perangkat lunak, dan teknologi adalah jalan pintas, katalis, dan pendukung dalam memajukan masyarakat,” tutup Hashimi.
Reporter: Caroline Saskia