Liputan6.com, Jakarta Mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, menilai bahwa pemanfaatan Single Identity Number (SIN) akan mendorong penerimaan pajak lebih tinggi dan maksimal. Secara teknis, SIN sebagai bank data perpajakan dapat menghitung total pajak Wajib Pajak (WP) karena seluruh data transaksinya tersedia di pusat data atau sistem.
Mekanisme seperti ini akan dapat membuat penerimaan pajak tercapai. Hal tersebut karena tidak ada lagi celah bagi WP untuk menyembunyikan sesuatu, atau aparat pajak bermain-main karena seluruh celah kecurangan akan dapat diketahui dengan mudah melalui mekanisme pencocokan data di pusat data.
Baca Juga
"Dengan terwujudnya SIN, akan dapat dipastikan penerimaan perpajakan akan meningkat secara sistemik. Dan secara nyata, SIN akan membuka jalan bagi pajak untuk membuat Indonesia tangguh dan tumbuh sebagaimana yang telah dicanangkan," kata Hadi dalam webinar Hukum Bisnis - Pajak dan Masyarakat pada Selas (31/8/2021).
Advertisement
Pemanfaatan SIN Pajak hingga saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Pemanfaatannya harus lebih baik mengingat tax ratio Indonesia dalam 5 tahun ke belakang terus mengalami koreksi.
Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Tercatat sebesar 10,37 persen pada 2016, lalu merosot ke level 9,89 persen pada 2017, naik tipis ke 10,24 persen pada 2018, pada 2019 kembali turun ke posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020.
Menurutnya, hal tersebut bertolak belakang dengan prestasi penerimaan perpajakan selepas terjadinya krisis moneter yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia pada 1998. Saat itu penerimaan perpajakan terus mengalami mengalami peningkatan, tercatat tax ratio pada 2005 mencapai 12,6 persen.
"Sehingga tax ratio pada 2005 setinggi 12,6 persen, sekarang turun menjadi 8,33 persen pada 2020," tutur Hadi.
Pencapaian kala itu, katanya, tidak didapat seperti membalikkan telapak tangan. Perlu kerja keras dari DJP untuk memastikan penerimaan perpajakan tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pemerintah secara konsisten menjalankan program integrasi data dalam sebuah SIN Pajak melalui MoU ke berbagai instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta sebagai bagian dari reformasi perpajakan.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Konsep SIN
SIN Pajak adalah penyatuan data secara online dan terintegrasi seluruh data, baik keuangan maupun non keuangan yang digunakan sebagai data pembanding atas laporan perpajakan dari WP. SIN sendiri adalah sebuah sistem informasi yang terintegrasi dimana berisi data-data baik finansial maupun non finansial.
Dalam UU KUP, konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Data tersebut merupakan data yang sifatnya interkoneksi secara online, sehingga tidak ada campur tangan manusia dalam pengambilan data dengan melalui mekanisme pengujian link and match. Namun, sistem pengujian ini ternyata tidak hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan perpajakan, namun juga dapat dipergunakan untuk kepentingan pemberantasan korupsi.
"Hal ini akan membuat Wajib Pajak terpaksa jujur (voluntary compliance) yang kemudian secara berangsur-angsur menjadi sebuah kebiasaan jujur, karena para wajib pajak tersebut tidak memiliki celah untuk berbohong atau memanipulasi laporan pajaknya," ungkap Hadi.
SIN Pajak sendiri telah diatur dalam UU 28/2007, namun masih terdapat kendala-kendala dalam pemberlakuannya. Kendala utamanya adalah masalah aturan pelaksanaan dari UU 28/2007 yang masih belum selaras dengan UU.
"Untuk melaksanakan UU tersebut, hanya butuh political will yang kuat dari para pembuat kebijakan, karena penyelesaiannya tidak membutuhkan waktu dan pengorbanan yang banyak," pungkasnya.
Advertisement