Liputan6.com, Jakarta Kegiatan sekolah tatap muka secara perlahan mulai kembali dibuka pada awal September 2021. Menurut rencana, jika pembelajaran tatap muka diterapkan secara serempak, maka akan dilakukan maksimal dua kali satu pekan dalam kurun waktu dua jam setiap harinya.
Meski ada pembatasan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menaruh perhatian besar terhadap masih banyaknya anak yang belum mendapat vaksinasi. Apalagi untuk usia di bawah 12 tahun, di tengah akan dibukanya kembali kegiatan sekolah dengan pembelajaran tatap muka (PTM).
Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN Firman Turmantara Endipraja mengatakan, bisa saja sekolah Tatap muka dilakukan, akan tetapi lebih baik dikaji lebih dalam lagi.
Advertisement
"Jangan terlalu terburu buru. Banyak yang harus jadi bahan pertimbangan dan dipertaruhkan bila memang harus menerapkan sekolah Tatap muka dalam waktu dekat," imbuhnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/9/2021).
Menurut dia, jika memang hanya berdasarkan level PPKM yang turun, dikhawatirkan ini akan menjadi boomerang bagi keselamatan jiwa setiap individu terutama anak-anak.
"Namun ini memang keputusan yang sulit, karena di sisi lain hal ini dilakukan untuk menekan resiko learning loss dan tetap menjaga kualitas pembelajaran anak Indonesia," ujarnya.
BPKN tak menyangkal jika learning loss terjadi saat situasi peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan. Ini umumnya terjadi saat pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN Renti Maharaini Kerti mengatakan, situasi ini memang merupakan dilema dalam dunia pendidikan. Namun menurutnya yang terpenting anak-anak bisa selamat, karena seperti yang sudah diketahui bahwa sekolah kerap menjadi klaster Covid-19.
Renti juga menyatakan, jika memang harus diadakan sekolah tatap muka dalam waktu dekat maka banyak yang harus dipertimbangkan. Antara lain, harus ada surat persetujuan dari orang tua murid terlebih dahulu. Untuk siswa SMP-SMA diprioritaskan untuk vaksin terlebih dahulu sebelum proses PTM berjalan.
"Sementara anak yang belum mendapat vaksin, khususnya di bawah usia 12 tahun, harus diperhitungkan apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya bila harus mengikuti PTM," ungkap Renti.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dikaji Ulang
Dia menuturkan, kebijakan untuk dibuka kembali sekolah-sekolah, mulai dari TK, SD, SMP, SMA sampai tingkat perguruan tinggi perlu pertimbangan yang matang, mengingat pandemi Covid-19 masih belum bisa dipastikan kapan benar-benar berakhir.
Disamping itu, untuk wilayah DKI Jakarta tingkat vaksin belum mencapai angka herd immunity, karena vaksin untuk anak-anak usia dibawah 12 tahun belum sepenuhnya semua divaksin.
"Artinya hampir sebagian besar anak-anak usia 12 tahun kebawah belum divaksin, dan ini perlu diperhatikan dan dipertimbangkan jika PTM khususnya untuk jenjang pendidikan SD akan dilaksanakan," tegasnya.
Senada, Firman juga menyampaikan jika memang sekolah tatap muka diterapkan, maka penerapan prokesnya harus benar-benar ketat. Tidak boleh lagi ada kelonggaran dalam prokes, karena yang ditakutkan adalah adanya klaster Covid-19 di sekolah-sekolah yang menerapkan PTM.
Mengacu data Wamenkes, kasus konfirmasi positif Covid-19 pada anak naik sebesar 2 persen. Pada awal Juli 2021 kasus Covid-19 pada anak masih 13 persen, namun kini menjadi 15 persen.
"Anak-anak yang beraktivitas saat PTM tak hanya beresiko terpapar Covid-19 namun juga berpotensi menjadi sumber penularan Covid-19 bagi lingkungan keluarganya.Dan jangan lupa bahwa menurut data UNICEF, angka kematian anak di Indonesia akibat Covid-19 lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan angka global," serunya.
Firman juga mengingatkan, panduan SKB 4 menteri harus betul-betul diterapkan untuk pertimbangan pelaksanaan sekolah tatap muka. "Dan sekolah yang dapat menerapkan PTM adalah yang telah lolos assessment daftar checklist prokes," tandas Firman.
Advertisement