Liputan6.com, Jakarta - Dirjen Pengendalian Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengingatkan bahaya merkuri yang bisa memberikan dampak terhadap tubuh manusia dan mengakibatkan berbagai penyakit.
Hal tersebut diungkapkannya dalam diskusi Merkuri: Musuh Dalam Selimut hasil kerja sama KLHK dengan United Nations Development Programme (UNDP).
Baca Juga
"Merkuri adalah logam berat yang sangat berbahaya karena sifat toksik, persisten di lingkungan, bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfer," kata Vivien dikutip dari Antara, Sabtu (11/9/2021).
Advertisement
Vivien menjelaskan bahwa terdapat beberapa produk yang dapat digunakan oleh masyarakat dan mengandung merkuri seperti termometer, tensimeter, amalgam gigi, batu baterai, lampu bertekanan tinggi serta kosmetik ilegal.
Selain itu terdapat bahaya lain ketika terjadi kebocoran merkuri ke lingkungan yang membuatnya dapat masuk ke rantai makanan dan berakhir dikonsumsi oleh manusia, menjadikannya berakhir di tubuh manusia.
Paparan kepada manusia dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf, ginjal, paru-paru, hati dan saluran pencernaan.
Vivien memberi contoh salah satu aktivitas yang dapat menyebabkan kebocoran merkuri ke lingkungan seperti penambangan emas ilegal yang membuangnya ke sungai. Padahal, sampai saat ini masih belum ada teknologi untuk memusnahkan unsur kimia yang dikenal juga sebagai raksa itu.
"Ketika merkuri ditarik ada problem pengolahannya jadi sampai dengan saat ini untuk merkuri yang ditarik peredarannya memang masih kami ekspor ke Jepang untuk dikelola lagi," jelas Vivien.
"Kalau tidak merkuri itu, saya belajar dari berbagai negara, dia tidak bisa dimusnahkan," tambahnya.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Komitmen Hapus Merkuri
Indonesia sendiri sudah menyatakan komitmen untuk penghapusan merkuri dengan menjadi salah satu negara yang menandatangani Konvensi Minamata dan meratifikasinya lewat UU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri.
Pengesahan itu kemudian dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) sejak 2019.
Indonesia juga menjadi tuan rumah Pertemuan Ke-4 Konferensi Para Pihak (COP) Konvensi Minamata Tentang Merkuri yang diadakan pada November 2021 secara virtual dan Maret 2022 secara tatap muka di Bali.
Konvensi Minamata adalah pakta internasional yang didesain untuk melindungi manusia dan lingkungan dari dampak merkuri. Namanya diambil dari penyakit minamata yaitu sindrom kelainan fungsi saraf akibat keracunan akut merkuri.
Advertisement