Sukses

Asia Diprediksi Habiskan Rp 113 Ribu Triliun untuk Konsumsi Makanan pada 2030

Kawasan Asia diperkirakan akan menghabiskan triliunan dolar untuk membeli makanan pada 2030

Liputan6.com, Jakarta - Makananadalah kebutuhan pokok seluruh umat manusia. Menariknya, laporan yang ditemukan PricewaterhouseCoopers (PwH), Rabobank, dan Temasek memprediksi bahwa konsumen Asia akan melipatgandakan pengeluaran mereka untuk makanan pada 2030.

Mengutip laman CNBC, Sabtu (25/09/2021), hal tersebut harus dipersiapkan setiap masyarakat Asia karena memberikan peluang baru bagi para investor untuk menghadirkan pilihan yang lebih sehat dan berkelanjutan pada inovasi makanan.

Pengeluaran makanan di wilayah tersebut akan mencapai USD 8 triliun atau setara dengan Rp 113.932 triliun pada satu dekade ke depan. Angka pengeluaran biaya ini mengalami kenaikan yang sebelumnya mencapai Rp56.966 triliun pada 2019.

Pernyataan kenaikan dinyatakan langsung oleh Asia Food Challenge Report 2021. Pasalnya, peluang tersebut membuat Asia menjadi pasar makanan dan minuman terbesar di dunia.

Sebagian besar permintaan yang diterima datang dari adanya perubahan kebiasaan dan cara konsumen pada pentingnya kesehatan. Hal ini juga diiringi sejalan dengan pemahaman akan digitalisasi yang semakin masif dan tingkat populasi yang meningkat.

Kesadaran akan kesehatan menjadi salah satu faktor pendorong. Pada 2030, Asia diperkirakan menjadi rumah bagi 4,5 miliar orang dengan 65 persen berada pada kelas menengah dunia. 

“Orang-orang menginginkan makanan yang lebih sehat, mereka ingin makanan yang lebih aman. Oleh karena itu, mereka ingin memberi secara daring dan makanan yang berkelanjutan,” jelas pelaksana agribisnis Temasek Anuj Maheshwari.

Pada kasus ini, India dan kawasan Asia Tenggara menyumbang peningkatan terbesar dalam pengeluaran sehingga tumbuh pada tingkat tahunan secara gabungan sebesar 5,3 persen (India) dan 4,7 persen (Asia Tenggara).

Sementara itu, kenaikan dari keseluruhan wilayah tetap akan didominasi dan dikuasai oleh China sebagai pasar terbesar. Penemuan ini dilakukan berdasarkan survei yang melibatkan 3.600 konsumen terbagi di seluruh Asia Pasifik.

Kemudian, gabungan lain juga berasal dari beberapa pihak eksekutif senior di sektor makanan. Informan yang terlibat berhasil dikumpulkan sebanyak 3 ribu perusahaan makanan dan minuman yang diperdagangkan secara publik untuk dianalisis.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Adanya Peluang Investasi yang Besar

Peningkatan masif ini memberi tekanan dan dorongan pada ekosistem makanan dan minuman yang sudah rapuh akibat pandemi COVID-19 yang melanda secara global.

Menurut laporan yang diterima, dibutuhkan investasi sebanyak USD 1,55 triliun (Rp22.074 triliun) pada 2030. Dana tersebut sudah diakumulasi dari seluruh wilayah Asia untuk memenuhi permintaan pangan yang membengkak.

Banyaknya dana yang dibutuhkan menunjukkan adanya peningkatan dari USD 750 miliar dari USD 800 miliar dari investasi awal pada 2019. Secara signifikan, peluang komersial ini memberikan keuntungan pada pihak investor untuk menargetkan wilayah Asia.

Secara khusus, laporan mengacu pada enam wilayah yang termasuk ‘tren kritis’, termasuk diet sehat, produk segar, sumber makanan yang aman yang dapat dilacak, dikonsumsi secara berkelanjutan, memiliki protein alternatif, dan dibeli secara daring.

Menurut AgFunder, investasi teknologi pertanian telah tumbuh secara signifikan sejak 2014 yaitu naik 377 persen menjadi USD 30,5 miliar (Rp434,3 triliun).

“Tren inilah yang perlu menjadi fokus agribisnis dan memastikan konsumen bisa mendapatkan jenis makanan ini, seperti yang diketahui kita butuh tempat-tempat seperti ini di Asia,” tutup Maheshwari. 

Reporter: Caroline Saskia