Liputan6.com, Jakarta - Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional Indonesia (KOMNAS UKM) menolak Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian di DPR. Penolakan tersebut karena dalam RUU KUP terdapat pasal yang cenderung mengabaikan kepentingan usaha mikro dan kecil (UMK).
KOMNAS UKM menggelar forum pada Rabu (22/9/2021) secara daring dengan melibatkan 14 Asosiasi, Komunitas dan Organisasi UKM. Asosiasi-asosiasi tersebut menyatakan bahwa mereka tidak menyutujui sejumlah muatan dalam RUU KUP.
Baca Juga
Ketua Umum Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional (Komnas UKM) Sutrisno Iwantono memaparkan, dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pemerintah berencana untuk menerapkan pajak penghasilan minimum sebesar 1 persen dari peredaran bruto.
Advertisement
"Kami mengusulkan ketentuan ini tidak diberlakukan bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK)," jelas Sutrisno dalam acara pernyataan bersama KOMNAS UKM pada Rabu (22/9/2021).
Selanjutnya, KOMNAS UKM meminta bahwa UMK tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5 persen dari penjualan atau omzet bruto tahunan bahkan untuk usaha mikro sementara ini nol persen dengan bercermin dari negara lain atau dengan alternatif pilihan dikenai PPh sesuai Pasal 31 e Undang-Undang PPh.
KOMNAS UKM juga mengusulkan besarnya penjualan omzet bruto tahunan dinaikan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 miliar agar selaras dengan kriteria Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Hal ini dengan pertimbangan bahwa angka Rp 4,8 miliar sudah berlangsung hampir 10 tahun sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonomi, di samping itu kriteria usaha mikro dan kecil sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja – sebagaimana diperjelas dalam PP No.7/2021," kata KOMNAS UKM.
Sutrisno menjelaskan, usaha mikro dan kecil yang dimaksudkan adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu berupa perorangan maupun badan usaha (CV, Firma, Usaha Dagang, Perseroan Terbatas dan sejenisnya).
"Kami tetap meminta bahwa selama mereka berstatus usaha mikro dan kecil mereka tetap mengikuti peraturan yang berlaku, tidak dibatasi oleh waktu seperti saat ini yang hanya diberikan kelonggaran selama antara 3 tahun sampai 7 tahun. Pada kenyataannya pembuatan laporan pajak itu harus terlebih dahulu dilakukan dengan membuat laporan keuangan harian. Usaha mikro dan kecil tidak mampu membayar gaji bagi tenaga yang memiliki skill dibidang keuangan," jelas dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
KOMNAS UKM Menolak Penyidik Pajak Diberi Kewenangan Penangkapan
KOMNAS UKM melanjutkan, bahwa mereka tidak menyetujui jika penyidik pajak diberi kewenangan penangkapan. "Hal ini sangat kontra produktif terhadap upaya untuk mengembangkan kegiatan usaha," ujar KOMNAS UKM.
"Semangat UU Cipta Kerja adalah mendorong penciptaan lapangan kerja, tetapi malah terancam oleh ketentuan pidana sehingga hal ini menjadikan UMK terdemotivasi. Kita justru memerlukan iklim usaha yang sehat yaitu menciptakan kenyamanan berusaha bukan dengan menciptakan ketakutan," demikian pernyataan KOMNAS UKM.
Untuk diketahui, 14 asosiasi yang menyatakan menolak RUU KUP tersebut adalah: Komnas UKM, Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Himpunan Usaha Mikro Kecil Indonesia (Hipmikindo), Apindo Bidang UKM, Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (ASITA), UKMIndonesia.id, Komunitas UMKM Naik Kelas, ASMI Women Empowerment, Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkopas), Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (APPI), Pusat Koperasi Karyawan DKI Jakarta (PUSKOPKAR) DKI Jakarta, Puskoppas DKI Jakarta, Jaringan Startup Bandung, dan Komunitas Restoran Jakarta.
Advertisement
Temuan dalam Survei yang Dilakukan Komunitas UMKM Naik Kelas
Ketua Umum Komunitas UMKM Naik Kelas, Raden Tedy dalam acara forum KOMNAS UKM mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan setidaknya empat kali survei selama pandemi COVID-19.
"Dalam satu setengah tahun ini kami melakukan survei dan kajian dengan data responden dari anggota Komunitas UMKM Naik Kelas yang ada di seluruh Indonesia (34 provinsi) - dominan responden ada di pulau Jawa.
Pada April 2020 hasil survei dan kajian yang dikeluarkan Komunitas UMKM Naik Kelas menunjukkan 83 persen UMKM berpotensi bangkrut.
"Pada era new normal, di bulan Juli, Komunitas UMKM Naik Kelas kembali mengeluarkan hasil survey dan kajian di mana ada kemajuan - yang tadinya 83 persen lalu di Juli 2020 yang berpotensi bangkrut mencapai 43 persen."Setahun setelah pandemi, tepatnya 1 Maret 2021 kami kembali mengeluarkan hasil survei dan hasil tersebut ada 5,4 persen atau kurang lebih 3,5 juta pelaku UMKM yang sudah bangkrut dan ada 34,8 persen lagi UMKM yang masih berpotensi bangkrut," ungkap Raden.
Kemudian survey terakhir yang dilakukan pada Agustus 2021 - yang dirilis September ini, di mana era PPKM darurat sangat berpengaruh pada UMKM, ditemukan ada 19 persen UMKM yang sudah bangkrut atau 11 juta yang sudah tutup usahanya dan masih ada 21,4 persen lagi yang masih berpotensi bangkrut.
"Kalo dilihat dari 1 tahun pandemi, hasil survei kami di bulan maret dan Agustus ada persamaan, di mana total daripada yang berpotensi dan yang sudah bangkrut sama-sama 40 persen," imbuh Raden.
"Berbedanya, ada kenaikan signifikan UMKM yang sudah bangkrut," tambahnya.