Liputan6.com, Jakarta - Langkah Bank Indonesia (BI) mengeluarkan aturan tentang rasio pembiayaan inklusif Makroprudensial bagi perbankan dinilai kurang tepat. Kebijakan tersebut akan menyulitkan bank yang memiliki fokus bisnis ke korporasi.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Budi Luhur Selamet Riyadi menjelaskan, pada konteks pengaturan penyaluran kredit dan pembiayaan ke Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui PBI nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM), membuat beberapa bank kesulitan.
Ia menjelaskan, setiap bank memiliki segmentasi masing-masing. Untuk bank yang memiliki segmentasi ke sektor UMKM tentu tidak kesulitan menjalankan aturan pembiayaan inklusif Makroprudensial tersebut.
Advertisement
“kita tahu kan UMKM kita seperti apa sekarang, kalau yang poin A (dalam aturan PBI tersebut) mungkin tidak terlalu susah, tapi yang (poin) B ini harus punya effort, karena semua bank itu berbeda-beda kemampuannya, kalau bank yang bergerak di mikro seperti BRI seperti tidak ada masalah, tapi bank-bank yang bergerak di korporasi ini jadi masalah besar,” tuturnya dalam FGD Pengaturan Inklusi Perbankan Makroprudensial vs Mikroprudensial, Rabu (22/9/2021).
Diketahui, pada poin (a) pasal tiga ayat (5) tentang kewajiban pemenuhan RPIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan ketentuan, (a) paling sedikit sebesar 20 persen pada posisi akhir bulan Juni 2022 dan posisi akhir bulan Desember 2022.
Sementara poin (b) menuliskan paling sedikit sebesar 25 persen posisi akhir bulan Juni 2923 dna posisi akhir bulan Desember 2023.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kesimpulan
Untuk diketahui, FGD ini dihadiri delapan pakar ekonomi diantaranya, Selamet Riyadi, Guru Besar Universitas Budi Luhur, Rimawan Pradiptyo, dari FEB UGM, Piter Abdullah Redjalam, CORE Indonesia, Perbana, dan Aviliani, Indef, Perbanas.
Kemudian, Yanuar Rizky, dari Aspirasi Indonesia Research Institute, Agus Herta Sumarto dari Indef, dan Hadi Purnomo dari STIM IMMI, serta Endri dari Universitas Mercu Buana.
Ada beberapa poin kesimpulan. Para ekonom menyimpulkan bahwa Kebijakan mendorong perbankan menyalurkan kredit kepada UMKM hendaknya bersifat industri bukan individual bank.
Porsi penyaluran kredit perbankan kepada UMKM secara keseluruhan perlu ditargetkan mencapai persentase tertentu, dengan tetap mempertimbangkan perkembangan dan permintaan kredit dari UMKM.
Mendorong penyaluran kredit UMKM (inklusi perbankan) hendaknya tidak hanya dari sisi supply (bank) tetapi juga dari sisi demand, yaitu dalam bentuk pengaturan, pembinaan, pengembangan, dan pendampingan UMKM. Oleh karena itu sinergi antar otoritas/Lembaga sangat diperlukan.
Pada dasarnya, mereka berpendapat bahwa UMKM memiliki peran yang besar dalam perekonomian Indonesia, baik dari kontribusi terhadap PDB maupun penyerapan tenaga kerja. Maka, dipandang perlu peningkatan dalam upaya memperkuat UMKM.
Termasuk diantaranya perlu ada regulasi yang mengatur agar industri perbankan meningkatkan porsi penyaluran kredit kepada UMKM atau meningkatkan inklusi perbankan.
Advertisement