Sukses

Industri Pengguna Garam Sumbang Devisa Miliaran Dolas AS

Industri pengguna garam menyumbangkan devisa setara hampir 500 kali lipat nilai impor garam.

Liputan6.com, Jakarta - Industri pengguna garam menyumbangkan devisa setara hampir 500 kali lipat nilai impor garam. Sedangkan sektor industri membutuhkan garam dengan kualitas yang baik agar bisa menembus pasar ekspor.

Hal tersebut terungkap dalam webinar Industrialisasi Garam Nasional Berbasis Teknologi yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi dan Politik (FDEP) bersama SBE-UISC, Jumat (24/9/2021), kemarin. 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, garam merupakan komoditas strategis yang penggunaan sangat luas. Tercatat, sejumlah industri yang menggunakan garam sebagai bahan baku antara lain mulai dari industri petrokimia, pulp dan kertas. Kemudian juga industri farmasi dan kosmetik, pengeboran minyak, industri aneka pangan, hingga konsumsi rumah tangga.

"Dengan cakupan penggunaan garam yang luas serta pertumbuhan industri pengguna garam yang cukup tinggi, kebutuhan garam di Indonesia semakin meningkat," ujar Agus.

Selain itu, Pertumbuhan penggunaannya juga cukup tinggi. “Rata-rata lima hingga tujuh persen per tahun,” lanjut dia.

Pengguna garam tidak hanya rumah tangga. Pengguna garam terbesar justru dari industri mulai dari petrokimia, kerta, aneka pangan, farmasi dan kosmetik, hingga pertambangan minyak. Industri CAP saja membutuhkan hingga 2,4 juta ton per tahun. Pada 2021, total kebutuhan nasional mencapai 4,6 juta ton.

Sementara, data BPS menunjukkan produksi garam nasional tidak sampai 1,5 juta ton.Karena itu, Indonesia masih harus mengimpor garam dengan nilai hingga USD 97 juta pada 2020.

Dengan bahan baku itu, industri pengguna garam mengekspor dengan nilai USD 47,9 miliar . Industri pengguna garam salah satu sektor yang tetap tumbuh di tengah pandemi.

“Hal ini menunjukkan betapa pentingnya industri pengguna garam,” kata dia.

Kementerian Perindustrian telah berusaha mendorong peningkatan penggunaan garam nasional. Pada 2021, Kementerian Perindustrian berharap industri nasional bisa menyerap hingga 1,5 juta ton garam nasional.

Memang, ada banyak tantangan penggunaan garam nasional. Salah satunya adalah selisih kemampuan produksi dengan kebutuhan nasional. Masalah lain keberlanjutan pasokan.

Industri pengguna tidak mungkin menghentikan operasi saat garam nasional tidak tersedia. Masalah yang tidak kalah penting adalah garam produksi dalam negeri belum sesuai kebutuhan industri. Garam industri paling tidak harus punya kadar kemurnian 97 persen.

Di sektor farmasi dan kosmetik, kadar kemurnian malah paling rendah 99 persen. Sementara kadar garam dalam negeri masih di bawah 90 persen.

“Banyak masalah kalau menggunakan garam tidak sesuai standar,” kata Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik & Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Hermawan Prajudi.

Garam dengan kandungan air tinggi bisa mempercepat kerusakan produk. Kandungan benda asing di garam bisa menjadi salah satu penyebab mesin pengolah rusak hingga ditolak oleh pasar. Bahkan, keberadaan benda asing dalam produk makanan bisa memicu keluhan konsumen.

Sebagai industri orientasi ekspor, sektor makanan dan minuman juga harus memenuhi standar keamanan pangan di berbagai negara. Standar itu tidak menoleransi benda-benda asing dalam pangan. Karena itu, industri makanan dan minuman sulit menerima garam dengan kadar kemurnian di bawah standar.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Butuh Intervensi Teknologi

Sementara guru besar Universitas Indonesia Misri Gozan tidak menampik bahwa ada peluang garam produksi dalam negeri tidak mencapai standar kemurnian yang dibutuhkan. Karena itu, dibutuhkan intervensi teknologi dalam produksi garam nasional.

Produksi garam nasional juga punya banyak tantangan. Salah satunya adalah kondisi alam. Kelembaban di Indonesia bisa mencapai 90 persen. Sementara di Australia, kelembaban bisa 30 persen.

Selain itu, tidak semua daerah Indonesia bisa terus menerus dalam kondisi panas selama paling tidak 1,5 bulan berturut-turut. Periode itu waktu paling singkat untuk menguapkan air laut.

Di Indonesia, produksi garam memang masih mengandalkan penguapan air laut. Sementara di beberapa negara lain, garam ditambang dari gunung.