Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini tengah mematangkan aturan terkait Harga Patokan Ikan (HPI). Hal ini jadi bagian dalam tiga variabel penentu PNBP subsektor perikanan tangkap.
Plt Sekretaris Ditjen Perikanan Tangkap Trian Yunanda menjelaskan, ada tiga variabel penentu PNBP subsektor perikanan tangkap. Meliputi penentuan tarif dari Kementerian Keuangan, serta HPI dan produktivitas kapal penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Baca Juga
Dalam menentukan HPI dan produktivitas tersebut, Trian menyebut, KKP menggunakan data dua tahun terakhir yang dikumpulkan dari 124 pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia. Menurutnya, data tersebut tidak mungkin dimanupulasi, karena KKP diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Advertisement
“Nah jadi terkait HPI ini, terakhir ditetapkan tahun 2011 dengan basis data 2010. Jadi ini sudah 10 tahun tidak ada penyesuaian. Kita enggak bisa memanipulasi harga itu, tentunya 10 tahun harga-harga sudah naik, inflasi dan tentunya kita harus melakukan penyesuaian,” tegasnya dalam Konferensi Pers, Kamis (14/10/2021).
Trian menyebutkan harga tersebut dibandingkan dengan harga di tahun 2021 yang kemudian direkomendasikan badan riset dan diformulasikan menjadi harga HPI dalam Kepmen Nomor 86 tahun 2021.
“Itu rerata nasional dimana disana sudah mempertimbangkan perbedaan antar wilayah, perbedaan musim dan mutu, sehingga wajar apabila harga daerah lebih rendah dari harga HPI, dan sebaliknya harga daerah lebih tinggi dari harga HPI,” katanya.
Ia menyebutkan ada beberapa jenis kelompok sumber daya ayng mengalami peningkatan harga yang cukup signifikan. Misalnya, ikan tuna, kerapu kakap dan yang paling tinggi adalah cumi-cumi.
“Kalau tuna naiknnya dari 2-2,5 kali lipat, cumi kenaikannya luar biasa sudah cukup tinggi. Sebeltulnya karena kewenangan di kita, kita diawasi, kita tak bisa manipulasi, kita lakukan dengan uptodate, ya itulah HPI dalam rancangan kepmen,” katanya.
Sementara itu, terkait produktivitas, ia menuturkan mengacu pada rata-rata priduktivitas kapal, yakni kapal satu dan tiga yang akan berbeda. Misalnya dengan ukuran kapal 100 grostonet pada kapal satu mampu menghasilkan 100 ton ikan. Sementara kapal tiga dengan ukuran yang sama mampu menghasilkan 300 ton ikan.
“Ini bisa dibayangkan kalau kita manipulasi harga dan produktivitas akan sangat berbahaya terkait kebijakan pemanfaatan sumber daya ikan,” katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Wujud Keterbukaan
Pada kesempatan yang sama Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik, Doni Ismanto menegaskan, evaluasi harga patokan ikan dan produktivitas kapal penangkapan ikan merupakan wujud keterbukaan Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono atas aspirasi yang disampaikan masyarakat perikanan selama ini.
“Ini bukti bahwa Pak Menteri mendengar aspirasi masyarakat. Tapi harus diingat bahwa semangat hadirnya aturan yang dibuat adalah untuk menjaga sumber daya alam perikanan kita berkelanjutan. Aturan ini juga wujud keadilan bagi semua pihak, antara negara dan masyarakat yang selama ini memanfaatkan sumber daya alam perikanan yang ada,” tegasnya.
Doni meminta pelaku usaha perikanan bersikap adil bila nantinya sudah ada perubahan harga patokan ikan sebagai acuan penarikan PNBP subsektor perikanan tangkap.
Ia menyebut bahwa HPI baru merupakan win-win solution karena penetapannya pun melibatkan banyak pihak. Untuk itu, dia berharap masyarakat perikanan memanfaatkan secara optimal konsultasi publik yang digelar KKP hari ini, sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat maupun saran yang dilengkapi dengan data valid.
“HPI sebelumnya ditetapkan 10 tahun lalu. Sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, karena ada yang under value bahkan ada beberapa yang tidak fair, tidak hanya bagi pelaku usaha tapi juga negara. Nah angka ini yang dicari titik temunya. Maka dari itu, saluran komunikasi ini harus dimanfaatkan dengan optimal,” tuturnya.
Advertisement