Sukses

Ekonomi Hijau Jadi Senjata Pemerintah Jawab Tantangan Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan tantangan ekonomi dalam jangka menengah panjang yang kini perhatian utama banyak negara di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim merupakan tantangan ekonomi dalam jangka menengah panjang yang kini perhatian utama banyak negara di dunia. Isu perubahan iklim berkembang sejak meningkatnya suhu bumi sebesar 2,5 hingga 4,7 derajat Celcius di tahun 2010 sebagai akibat dari peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK).

Menanggapi itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah menetapkan ekonomi hijau sebagai salah satu strategi utama menghadapi tantangan perubahan iklim dalam jangka menengah panjang. Strategi ini akan membantu Indonesia dalam mewujudkan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs yang bertepatan dengan terjadinya pandemi Covid-19.

"Terobosan-terobosan baru sangat diperlukan untuk bisa melakukan lompatan dalam mencapai target SDGs ini, terutama dalam masa pandemi," kata Airlangga Hartarto, dalam acara INDY Fest 2021 di Jakarta, Selasa (19/10).

Pemerintah telah menetapkan arah kebijakan melalui pembangunan rendah karbon. Hal ini dilakukan melalui penurunan dan intensitas emisi pada bidang prioritas meliputi energi, lahan, limbah, industri, dan kelautan. Melalui Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 dari kondisi business as usual. Penurunan emisi GRK tersebut terutama akan didorong pada sektor Agriculture, Forest, and Land Use (AFOLU) serta energi.

Penerapan pembangunan rendah karbon diharapkan dapat terus menekan emisi hingga 34 persen sampai 41 persen di tahun 2045. Hal ini dilakukan melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT), perlindungan hutan dan lahan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan penanganan limbah terpadu. Sehingga ditargetkan pada tahun 2060 Indonesia akan mencapai net zero emissions.

"Net-zero emissions adalah target yang ingin dicapai Pemerintah di 2060 mendatang dan kami juga telah mencantumkannya dalam penyampaian dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)," tutur Airlangga.

Penguatan komitmen Indonesia untuk mencapai berbagai target tersebut menjadi sangat krusial menjelang pelaksanaan COP26 di Glasgow Skotlandia. Di sini, peran pembiayaan hijau menjadi sangat krusial.

Pemerintah telah mendorong pengembangan berbagai instrumen pembiayaan hijau, diantaranya melalui Green Sukuk. Green Sukuk edisi 2020 mencapai USD 2,5 miliar, sementara permintaan yang diperoleh sebesar 6,7 kali lipatnya atau jauh di atas target pemerintah di tengah kondisi pasar yang volatile ini.

Pemanfaatan Green Sukuk ini pun sudah mulai direalisasikan dengan pengemangan dan pembangunan fasilitas EBT. Dengan begitu, pembangunan proyek-proyek ini nantinya sudah mulai bisa dihitung berapa besar pengurangan emisi CO2 yang dapat dicapai.

“Beberapa pemanfaatan refinancing Green Sukuk yang telah dilakukan adalah dengan pengembangan dan pembangunan fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro dan minihidro,” ungkap Airlangga.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Pembiayaan APBN

Dia melanjutkan pembiayaan ini tidak terbatas pada pembiayaan APBN saja. Instrumen alternatif seperti blended finance juga telah disiapkan untuk memperkuat skema pembiayaan dengan menampung dana dari swasta serta donor internasional untuk kegiatan pengembangan EBT dan mitigasi perubahan iklim. Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) juga telah didirikan pemerintah pada 2019 untuk membantu meningkatkan kualitas pembiayaan pada program ekonomi hijau.

Di saat yang sama, Pemerintah juga terus meningkatkan kerja sama pembiayaan hijau dengan lembaga internasional. Beberapa program EBT di Indonesia telah terbantu dengan dukungan pembiayaan dari lembaga-lembaga yang berbentuk Development Finance Institution (DFI) dan Export Credit Agency (ECA).

Dari sektor keuangan, penerapan ekonomi hijau telah didorong melalui Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Peta jalan ini menjadi kerangka acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan ekonomi hijau. Sehingga dapat mengakomodir kebutuhan pembiayaan dan investasi di sektor terkait.

Dalam aspek regulasi, saat ini pemerintah sudah memiliki UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menyempurnakan berbagai UU lintas sektoral. Khusus untuk Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UU yang disempurnakan adalah UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

“Tujuan utama regulasi ini adalah menciptakan kemudahan ekosistem berusaha, tanpa mengesampingkan standar, nilai-nilai keselamatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan. Salah satu implementasi UU ini adalah melalui sistem perizinan berbasis risiko (OSS-RBA) yang telah diluncurkan pada tanggal 9 Agustus 2021 lalu,” tuturnya.

Pemerintah juga telah membentuk Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA). Lembaga ini berguna untuk memberikan alternatif investasi terhadap pembangunan ekonomi hijau. INA juga akan berperan dalam mengembangkan peluang investasi di berbagai sektor utama, termasuk infrastruktur digital sehingga dapat mendukung pembangunan secara berkelanjutan.

“Investasi yang dikelola oleh INA diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, mendukung penciptaan lapangan kerja, dan mendorong transisi menuju ekonomi baru yang berbasis digital. Pemerintah akan segera mengalokasikan modal tambahan sebesar Rp 60 triliun untuk mendukung optimalisasi INA bagi perekonomian,” tutup Airlangga.