Sukses

Sulit Bedakan Pinjaman Online Legal dengan Ilegal? Ini Cirinya

Seringkali yang menjadi permasalahan dari sisi masyarakat adalah masih belum dapat membedakan pinjaman online yang legal dan ilegal.

Liputan6.com, Jakarta - Tren pinjaman yang dapat dilakukan secara daring atau pinjaman online sedang marak terjadi seiring munculnya pandemi COVID-19 di Indonesia. Hal ini terjadi karena kebutuhan pendanaan masyarakat besar namun tidak bisa difasilitasi oleh industri perbankan.

Namun, perkembangan dari tren ini dimanfaatkan dengan tidak baik hingga muncul pinjaman online ilegal yang tidak sesuai dengan kode etik. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengeluarkan regulasi terkait pinjaman online untuk menghindari adanya perilaku kecurangan.

“Kami melakukan tindakan tegas kepada para anggota AFPI yang ada kaitannya dengan pinjol ilegal, salah satunya yang sudah kami cabut tanda pendaftaran Debt Collector Indo Tekno per Jumat kemarin,” jelas Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi, seperti ditulis Senin (25/10/2021).

Sementara itu, sertifikasi dari debt collector akan dijadikan sebagai elemen penting supaya selama proses menyeleksi anggota, AFPI dapat mengetahui agen-agen seperti apa dan dari mana saja yang memang pantas.

“Tentu ini harapannya bisa memberikan standar terkait aspek penagihan dan sebagainya sesuai dengan aturan pedoman perilaku yang ada di AFPI,” tambah Adrian.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Edukasi Pinjol pada Masyarakat

Namun, seringkali yang menjadi permasalahan dari sisi masyarakat adalah masih belum dapat membedakan pinjaman online yang legal dan ilegal. Ketidakmampuan untuk membedakan membuat praktik kecurangan tersebut semakin tinggi juga.

Pemahaman akan pinjol juga masih belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Sebagian besar dari mereka masih menganggap bahwa pinjaman yang diberikan tidak harus sepenuhnya dibayarkan kembali. Tentu, hal tersebut berdampak cukup besar bagi beberapa sektor industri.

“Jelas sekali kalau yang ilegal itu tidak terdaftar dan tidak berasal dari OJK. Jadi, mereka tidak ada yang mengatur, kira-kira seperti itu,” jelas Ketua Klaster Pendanaan Multiguna AFPI Rina Apriana.

Hal yang mungkin bisa dilakukan masyarakat adalah mengecek sertifikasi di aplikasi OJK ketika ditawari pinjaman. Apabila tidak ditemukan, dapat dipastikan bahwa agen pinjol tersebut adalah ilegal.

Untuk itu, dorongan untuk terus mengedukasi masyarakat semakin ditingkatkan dari segi pemahaman, pelayanan yang diberikan, hingga pembayaran pinjaman yang sudah dilakukan. 

CEO Dompet Kilat Sunu Widyatmoko juga menjelaskan kembali langkah dan upaya yang dilakukan untuk mengurangi fenomena pinjol ilegal.

“Pihak kami akan memilih peminjam yang kurang berisiko, kami mengharapkan tingkat pencairan, jumlah pencapaian yang lebih rendah dapat menyeimbangkan return dan resiko yang harus ditanggung pemberi pinjaman,” jelas Sunu.

3 dari 3 halaman

Berkontribusi pada Perekonomian Indonesia

Terlepas dari itu, tren pinjol memiliki peluang yang menjanjikan dan pertumbuhannya masih mengarah positif. Seperti yang diketahui, peran dari pinjol dapat dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki rekening bank dan berada di daerah-daerah terpencil.

Tercatat per Agustus 2021, sekitar Rp 249 triliun sudah didistribusikan kepada masyarakat dalam melakukan peminjaman. Sementara itu, terdapat 479 juta pengguna yang sudah tergabung menjadi borrower (peminjam) dan 193 juta lender (pemberi pinjaman) yang tergabung.

“Dengan adanya inovasi di fintech memberikan kemudahan untuk mengakses berbagai layanan keuangan, jadi kami bisa melakukan penetrasi jauh lebih banyak pengguna dan menjangkau daerah terpencil,” papar Rina.

Penggunaan teknologi yang mempermudah dan mempercepat melakukan akses, Rina menegaskan bahwa perusahaan akan selalu berupaya memberikan pelayanan yang mudah. Salah satunya memberdayakan UMKM dan ekonomi lokal.

“Kalau dilihat ada juga pinjaman yang dilakukan secara berulang (repeat order), yang mana mereka sudah merasakan manfaatnya dari layanan ini,” tambah Rina. Kebutuhan yang semakin meningkat dapat menjadi poin bagus bagi fintech.

Selain itu, Rina kembali memaparkan bahwa lebih dari 50 persen dari uang yang dialokasikan untuk 250 juta peminjam berasal dari sektor UMKM. Berdasarkan survei AFPI pada Juni 2020, Indonesia ditemukan butuh pinjaman-pinjaman serupa sebagai modal usaha.

“Di sini fintech landing dapat berkontribusi untuk menutup kekurangan tersebut yang ada gap antara kebutuhan funding yang diperlukan masyarakat,” jelas Rina saat menjelaskan dampak fintech pada perekonomian nasional.

 

Reporter: Caroline Saskia