Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali menceritakan kilas balik saat Indonesia terlanda krisis ekonomi beberapa kali. Yakni saat krisis pada 1998, dan 2008, dan 2021 saat menghadapi pandemi Covid-19.
Dia menyebut, ada kesamaan dari ketiga krisis yang melanda Indonesia. Di mana, ujungnya keuangan negara sebagai penyelamat dari krisis.
Baca Juga
“Ujungnya itu keuangan negara yang menampung semua beban, neraca pembayaran, moneter perbankan, sistem keuangan, sektor riil kontraksi sampai minus 13 persen, inflasi hingga menyentuh di 75 persen, kemudian kenanya adalah keuangan negara karena yang mem-bail out seluruh sistem keuangan negara,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Minggu (24/10/201).
Advertisement
Sri Mulyani membeberkan awal mula terjadinya krisis moneter yang puncaknya terjadi pada 1998. Krisis berawal dari negara Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dengan koreksi yang sangat dalam terhadap nominal, sehingga menimbulkan efek domino terhadap perusahaan dan perbankan. Banyak perusahaan dan bank yang meminjam pendanaan dengan dolar, begitu nilai tukar yang meningkat, nilai utangnya juga meningkat.
“Anda bisa bayangkan yang tadinya utang (dengan nilai tukar per dolar AS) Rp 2.500, jadi Rp 5.000, jadi Rp 10 ribu, dan jadi Rp 17 ribu bahkan, maka nilai utang itu jadi berlipat ganda. Jadi penerimaan dari bentuk rupiah tak mampu bayar kembali (utang),” jelas dia.
“Maka kalau dilihat krisis pertama ini neraca keuangan negara dengan krisis keuangan bank dan korporasi yang terkena duluan,” tambahnya.
Dengan demikian terjadi berbagai efek ke sektor riil, dan perbankan sehingga banyak yang kolaps.
Menkeu menyebut Indonesia saat itu masuk dalam program IMF dalam pemulihan ekonomi yang memiliki peran cukup besar terhadap bangkitnya ekonomi saat itu.
Jadi, memunculkan berbagai permasalahan dari mulai banyak orang yang tak memiliki pekerjaan, berdampak ke sosial ekonomi, hingga ke ranah politik dengan adanya reformasi.
Krisis 2008
Sementara itu untuk krisis kedua yang dialami Indonesia, tak lagi dimulai dari negara ASEAN. Krisis bermula dari investasi yang terjadi di Amerika Serikat. Awalnya dilakukan Lehman Brothers sebagai penyebab.
Investas itu, kata Menkeu, sebagai investasi yang begitu kompleks. Sehingga memunculkan adanya ekspansi kredit yang luar biasa di Amerika Serikat. Itu yang kemudian banyak berimbas kepada lembaga keuangan di AS.
“Di Indonesia keadaan berbeda, pada saat ini makro policy-nya seperti sudah pruden, defisit di bawah 3 persen, utang turun, yang belum adalah pengawasan bank, pengawasan ini masih dalam satu groove, ketika krisis ini, di episentrum keuangan dunia, vibrasinya atau jadi keseluruh dunia, karena kepanikan global,” tambah dia.
Dalam menghadapi krisis ini, Indonesia tak mengambil langkah layaknya negara lain yang menerapkan yang disebut blanket guarantee. Pada saat itu, Indonesia mampu menjaga ekonomi stabil di sektor riil.
“Pada krisis kedua ini bahwa lahir pemisahan pengawasan bank dan lahirnya OJK dan pertemuan pemimpin dunia dalam forum G20,” katanya.
“Keuangan negara yang punya beban paling besar. Nah keuangan negara yang selalu saya sampaikan ini harus mampu antisipasi berbagai macam krisis yang melanda dunia,” ujar dia.
Maka, kata Sri Mulyani, keuangan negara perlu jadi penyembuh ekonomi dan berbagai macam krisis yang dihadapi.
“Waktu ekonomi bagus harus (kita) akumulasi, defisit kita turunkan, sehingga kita punya ruang fiskal, waktu terjadi hantaman, ruang fiskal itu yang kita lakukan (untuk berkembang),” katanya.
Advertisement