Liputan6.com, Jakarta Singapura kini tengah dilanda krisis energi yang bisa mengancam pasokan listrik bagi dunia bisnis dan konsumen. Krisis energi yang terjadi di negara tetangga itu salah satunya dikarenakan berhentinya pasokan energi dari Indonesia.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, kondisi yang terjadi di Singapura saat ini memang karena pasokan dari dalam negeri yang sedikit terganggu. Ini terjadi karena adanya gangguan teknis di lapangan serta kendala di lapangan.
"Jadi murni karena memang adanya gangguan sehingga pasokan gas ke Singapura menjadi terganggu," kata Mamit kepada merdeka.com, Minggu (24/10/2021).
Advertisement
Dia mengatakan, Singapura selama ini memang pasar terbesar ekspor gas alam dari Indonesia terutama gas yang berasal dari Natuna dan Sumatera.
Negara tersebut ketergantungan cukup besar, di mana dari total kebutuhan gas mereka berdasarkan data sebesar 1,22Â miliar cubic feet per hari, sebesar 700 juta cubic feet per hari atau 60 persen berasal dari Indonesia.
"Tetapi seharusnya Singapura jika dalam kondisi terdesak seperti saat ini mereka bisa membeli LNG dari pasar spot mengingat mereka memiliki fasilitas regasifikasi di sana," ujarnya.
Hanya saja dalam pembelian LNG ada kendala dengan harga. Di mana harga LNG di pasar spot saat ini cukup tinggi jika dibandingkan mereka membeli gas dari Indonesia.
Mamit menambahkan, sampai sejauh ini kontrak Indonesia masih cukup panjang dengan Singapura seperti kontrak ke GSPL yang akan berakhir 2023 dan kontrak ke SembGas yang akan berakhir 2028.
Â
Indonesia Aman dari Krisis Energi
Dia melanjutkan, kondisi krisis energi terjadi di Singapura tidak akan berdampak kepada Indonesia. Dipastikan jika Indonesia masih dalam posisi aman, terlebih pembangkit listrik di dalam negeri 90 persennya masih menggunakan batu bara.
"Untuk Indonesia saya bisa pastikan kita dalam kondisi aman karena pembangkit listrik kita adalah 90 persen menggunakan batu bara," ujarnya.
Pemerintah bahkan telah mengatur mengenai kebijakan DMO di mana perusahaan batu bara wajib untuk menjual ke pasar dalam negeri sebanyak 25 persen dari kapasitas produksi mereka termasuk ke PLN.
Harga untuk DMO juga sudah di atur sebesar USD70 permterik ton sehingga tidak menambah beban bagi PLN ditengah harga batu bara yang tinggi saat ini.
"Mudah-mudahan pemerintah konsisten dan tidak terbujuk rayuan pengusaha batu bara untuk menaikan harga DMO ditengah disparitas harga cukup tinggi seperti saat ini. Karena jika naik maka bisa dipastikan akan meningkatkan bpp listrik per kwh. Apalgi sejak 2017 tidak pernah ada adjustment terhadap TDL," pungkas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement