Sukses

Sri Mulyani: Kasus Evergrande China Masih Jadi Ancaman Ekonomi RI

Sri Mulyani menanggapi kasus Evergrande di China yang sudah mulai membayar utang-utangnya

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan meskipun perusahaan konstruksi terbesar di China yaitu Evergrande sudah berangsur membayar cicilan utang.

Namun tetap berpotensi terhadap perekonomian dunia termasuk Indonesia.

“Di Tiongkok kasus Evergrande meskipun kemarin sudah bisa membayar cicilan utang atau bunganya. Namun ini belum selesai dan tentu potensi perlambatan perekonomian di Tiongkok yang pasti memberikan dampak terhadap berbagai perekonomian dunia dari mulai harga komoditas hingga pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan,” kata Menkeu Sri dalam APBN KITA Edisi Oktober 2021, Senin (25/10/2021).

Menurutnya, berbagai dinamika global lainnya juga perlu untuk diwaspadai, seperti isu-isu yang ada di negara-negara yang memiliki kemampuan untuk menciptakan kelebihan (spillover) seperti di Amerika serikat, Eropa dan Tiongkok tetap menjadi perhatian Pemerintah Indonesia..

“Karena mereka mampu menimbulkan Spillover atau rambatan kepada perekonomian dunia termasuk ke Indonesia. Di Amerika kemungkinan terjadinya tapering atau kenaikan suku bunga dari The FED dan limit yang ditunda sampai Desember tapi tidak berarti mereka telah terjadi kesepakatan politik,” jelas Menkeu.

Sama halnya di Eropa, jika terjadi kenaikan inflasi dan harga energi, mereka mungkin juga melakukan tapering. Sehingga dampak dari Brexit yang menimbulkan disrupsi di sisi supply akan berdampak pada inflasi negara tersebut.

“Berbagai fenomena kenaikan harga komoditas, kelangkaan input atau terjadinya disrupsi yang menekan kemudian kenaikan upah dan biaya shipping ini menjadi sesuatu yang pasti mempengaruhi juga ekonomi Indonesia,” katanya.

 

2 dari 2 halaman

Waspada

Oleh karena itu, Indonesia juga harus mewaspadai meningkatnya kenaikan biaya impor atau producer price. Bahkan, kata Menkeu saat ini sudah dialami oleh berbagai producer terutama di sektor manufaktur.

“Kita juga harus mewaspadai meningkatnya produser price yang sekarang ini sudah dialami oleh berbagai produser terutama di sektor manufaktur tentu ini bisa berpotensi kepada inflasi di dalam negeri kita, meskipun sampai hari ini inflasi sangat baik,” jelasnya.

Disamping itu, potensi transmisi yang perlu Indonesia antisipasi adalah volatilitas di sektor keuangan, yang tentunya akan diterjemahkan dari sisi nilai tukar, kemudian suku bunga atau yield dari SBN Indonesia maupun indeks harga saham.

“Sedangkan dari sisi perlambatan global, maka transmisi atau spillover nya biasanya muncul dalam bentuk supply chain yang pengaruhnya akan berdampak kepada sektor terutama manufaktur kemudian penurunan permintaan terhadap negara, barang-barang dari negara-negara berkembang,” pungkasnya.