Sukses

HEADLINE: Rencana Tes PCR Wajib di Seluruh Moda Transportasi, Plus Minusnya?

Pemerintah berencana mewajibkan tes PCR Covid-19 di semua moda transportasi.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tidak mau kecolongan lagi. Pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM bukan berarti masyarakat bisa beraktivitas dengan sangat bebas, di tengah keberadaan pandemi Covid-19 yang masih menghantui.

Barigade penahan tetap dipasang pemerintah demi membatasi pergerakan masyarakat. Salah satunya mewajibkan tes PCR bagi yang ingin bepergian dengan pesawat terbang. Tes polymerase chain reaction ini jadi pemantau jika virus Covid-19 kembali merebak di Indonesia.

Kewajiban PCR naik pesawat diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2 dan Level 1 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali.

Kesiagaan pemerintah belum berhenti hanya pada transportasi udara, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal jika kewajiban tes PCR secara bertahap akan diterapkan pada transportasi lainnya. Langkah ini dalam mengantisipasi periode Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2021.

Sebab prediksinya, akan ada kenaikan mobilitas pada masa Libur Nataru. Survey Balitbang Kemenhub menemukan, sekitar 19,9 juta masyarakat di sekitar Jawa Bali akan bepergian, sedangkan Jabodetabek 4,45 Juta jiwa saat momen Nataru.

Peningkatan pergerakan penduduk ini, jika tanpa pengaturan protokol kesehatan yang ketat akan meningkatkan resiko penyebaran kasus.

“Presiden juga memberikan arahan tegas kepada kami semua untuk segera mengambil langkah terkait keputusan dan kebijakan mengenai hal ini dan merancang agar tidak ada peningkatan kasus akibat liburan Nataru,” jelas Luhut, Senin 25 Oktober 2021.

Dia mengingatkan meskipun kasus Covid-19 di Indonesia saat ini sudah rendah, tetapi belajar dari pengalaman negara lain tetap harus memperkuat 3T dan 3M. Ini supaya kasus tidak kembali meningkat, terutama menghadapi periode libur Nataru.

Kewajiban menyertakan hasil PCR ini sebagai upaya menyeimbangkan relaksasi yang dilakukan pada aktivitas masyarakat, terutama di sektor pariwisata.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno berpandangan, kewajiban PCR tes ini diharuskan mengingat tingkat keterisian pesawat tidak lagi 70 persen tetapi sudah 100 persen. Dengan demikian PCR menjadi bagian dari protokol kesehatan.

"Terkait PCR test, kebijakan yang berdampak banyak pada masyarakat. Karena syarat penerbangan sudah tidak lagi 70 persen, sudah 100 persen agar terjadi suatu keyakinan bahwa yang bepergian tidak mengidap corona maka PCR harus dilakukan. Kebijakan PCR jadi bagian dari penerapan prokes," tandasnya.

Selain itu, kewajiban PCR juga menjadi upaya pemerintah menekan penyebaran virus jelang pelaksanaan KTT G20 di Bali. Pemerintah tak ingin mengambil resiko.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati mengatakan, pihaknya belum membuat aturan rinci soal penerapan wajib PCR tersebut. “Hal ini masih dikoordinasikan lintas kementerian dan lembaga,” katanya kepada Liputan6.com, Rabu (27/10/2021).

Seperti pengalaman sebelumnya, penerbitan surat edaran berisi kewajiban tes PCR moda tranportasi oleh Kemenhub harus terlebih dulu menunggu umpan dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Langkah itu juga termasuk dengan sinkronisasi aturan dari berbagai pihak yang terkait.

Adita menyebut dalam koordinasi yang dilakukannya bersama kementerian dan lembaga tersebut, mencakup cara pengawasan.

Dia juga belum bisa memastikan berapa lama proses ini berjalan. “Ya, masih dibahas semuanya,” kata Adita.

Reaksi Masyarakat

Meski baru diutarakan pemerintah, rencana kewajiban PCR di semua moda transportasi menuai penolakan. Ndaru (42 Tahun) salah satunya. Sebagai warga yang sering melakukan perjalanan menggunakan pesawat, dia merasa aturan tersebut membebani karena tarif PCR yang begitu mahal. 

"Padahal saya sudah vaksin dua kali. Seharusnya itu sudah cukup ditambah dengan syarat protokol kesehatan yang ketat seperti pakai masker dan tak boleh makan dan minum di pesawat," jelas dia. 

Seorang jurnalis surat kabar online di Jakarta, yakni Tommy, menyarankan pemerintah cukup menjadikan vaksinasi sebagai salah satu protokol kesehatan COVID-19 ketika melakukan perjalanan jarak jauh.

"Lebih baik kejar vaksinasi saja biar seperti Korea Selatan. Percuma kalau ada program vaksin, tapi naik kendaraan umum harus tes PCR. Naik KRL ongkosnya cuman Rp 3.000, masa harus PCR?," ujar Tommy kepada Liputan6.com.

"Lebih baik PCR jangan untuk naik kendaraan umum. Untuk pesawat saja. Harga sekarang sudah cukup realistis," ungkap Tommy, ketika ditanya apakah dengan adanya aturan wajib tes, akan lebih baik untuk menurunkan harga tes PCR.

Tommy juga menyampaikan concern-nya kepada masyarakat kelas bawah bila aturan wajib tes PCR pada transportasi berlaku, karena harga tes yang masih banyak kurang terjangkau.

"Justru kasihan masyarakat kelas bawah, karena harga tes PCR lebih tinggi dari harga makan seminggu," pungkasnya.

 

2 dari 4 halaman

Harga Tes PCR Turun

Bicara soal tarif PCR, pemerintah akhirnya mengambil keputusan. Tarif Batas Atas PCR resmi diturunkan jadi Rp 275 ribu di Jawa Bali dan Rp 300 ribu di luar wilayah tersebut. Hasil pemeriksaan PCR juga sudah harus keluar dalam waktu durasi 1X24 jam dari waktu pengambilan.

Ini diumumkan Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir saat konferensi pers, Rabu (27/10/2021).

"Kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan real time PCR diturunkan jadi Rp 275 ribu untuk daerah Pulau Jawa Bali dan Rp 300 ribu luar Jawa dan Bali," kata dia.

Penurunan tarif memang sudah diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memerintahkan tarif tes PCR paling mahal Rp 300 ribu. Selain itu, masa berlakunya juga diperpanjang menjadi 3x24 jam untuk perjalanan dengan pesawat.

“Mengenai hal ini arahan Presiden agar harga PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu dan berlaku selama 3x24 jam untuk perjalanan pesawat,” kata Menko Luhut.

Mengenai tarif PCR, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tarif tersebut paling murah jika dibandingkan dengan harga tes PCR di dunia.

"Harga PCR yang ditentukan Presiden kemarin itu sudah 10 persen paling bawah, paling murah dibandingkan tes PCR di seluruh dunia, di airport-airport,” katanya.

Mayoritas tarif tes PCR di dunia di atas Rp 300.000. Namun, India mencatat tarif tes PCR terendah di dunia yakni hanya Rp160.000.

Rendahnya tarif tes PCR di India karena negara tersebut bisa memproduksi alat kesehatan sendiri. Berbeda dengan Indonesia yang masih bergantung pada alat kesehatan impor.

“Memang India negara yang paling murah untuk semua selain China karena memang mereka punya produksi dalam negeri,” jelasnya.

Warga Tagih Tarif PCR Murah

Memang ketika aturan PCR naik pesawat dirilis, beberapa golongan masyarakat menggaungkan penolakannya. Seperti petisi dari warga bernama Dewangga Pradityo Putra.

Dia menilai tes PCR Covid-19 penerbangan sebagai keputusan yang keliru sebab walaupun calon penumpang pesawat sudah divaksin dua kali, tetap harus menjalani tes PCR.

Kebijakan itu berpotensi menyebabkan penerbangan berkurang sehingga industri penunjang pun akan semakin kesulitan.

Puluhan ribu orang setuju dengan Dewangga dan bersedia menandatangani petisi penolakan kewajiban tes PCR (polymerase chain reaction) sebagai syarat untuk perjalanan udara.

"Yang penting jangan tebang pilih. Kita di penerbangan tidak hanya masyarakat kelas atas, tapi banyak juga masyarakat menengah dan menengah ke bawah yang menggantungkan hidupnya di sektor penerbangan ini," kata Dewangga Pradityo Putra di kolom komentar petisi yang dilansir dari Antara.

Dinilai jika memang PCR ini terbaik, setidaknya pemerintah memberikan kebijakan dengan cara menurunkan tarif PCR, baik dengan subsidi atau dengan cara lain sehingga harganya bisa lebih terjangkau masyarakat.

Keberatan turut digaungkan Asosiasi Pilot Garuda (APG). Para pilot khawatir, syarat PCR berdampak langsung kepada berkurangnya tingkat keterisian pesawat.

"Penerapan aturan wajib PCR sangat kami sayangkan mengingat pemulihan ekonomi dari sektor transportasi udara dan pariwisata dalam dua bulan terakhir sudah menunjukkan proses membaik yang cukup signifikan," tutur Donny.

 

 

3 dari 4 halaman

Tepat atau Tidak

Syarat tes PCR untuk naik pesawat, yang kemudian direspon dengan penurunan tarifnya oleh pemerintah mendapat sorotan dari DPR.

Ketua DPR Puan Maharani memuji niatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam pengendalian Covid-19. Seperti mewajibkan PCR di semua moda transportasi.

Namun dia mengingatkan jika hal tersebut masih membenani masyarakat. Selama ini, harga tiket transportasi massal banyak yang lebih murah dari harga tes PCR.

"Contohnya masih ada tiket kereta api yang harganya di kisaran Rp 75 ribu untuk satu kali perjalanan. Begitu pula dengan tiket bus AKAP dan kapal laut. Saya kira kurang tepat bila kemudian warga masyarakat pengguna transportasi publik harus membayar lebih dari 3 kali lipat harga tiket untuk tes PCR," kata Puan dalam keterangannya.

Politikus PDIP ini menyadari niatan pemerintah memberlakukan PCR untuk mengantisipasi gelombang baru Covid-19, terutama jelang libur Natal dan Tahun Baru.

"Namun hendaknya harga PCR jangan lebih mahal dari tiket transportasi publik yang mayoritas digunakan masyarakat," kata Puan.

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay Saleh menegaskan, menurunkan harga PCR tidak lantas menyelesaikan masalah. Sebab, biaya tes PCR tetap membebani rakyat. Khususnya yang menggunakan pesawat.

“Tidak semua orang yang naik pesawat memiliki dana yang berlebih. Masih banyak orang yang merasa berat dengan beban membayar tes PCR," kiritik Saleh.

Saleh pun meminta, evaluasi kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat segera dilakukan. Sebab, test PCR tidak menjamin sepenuhnya bahwa semua penumpang aman Covid.

"Orang yang dites itu aman pada saat dites dan keluar hasilnya. Setelah itu, belum ada jaminan. Bisa saja ada penularan pada masa 3 x 24 jam," tegas dia.

Dia juga mengusulkan kebijakan tes PCR diganti dengan tes antigen. Meski tingkat akurasinya lebih rendah dari PCR, namun biaya testingnya jauh lebih rendah.

"Tujuan testing kan untuk memastikan bahwa semua calon penumpang tidak terpapar. Nah, antigen ini juga bisa digunakan," Saleh menandasi.

Pandangan Pakar

Dari sekian catatan DPR dan penolakan oleh masyarakat, menurut Epidemiolog, kebijakan wajib PCR di sektor transportasi justru sangat tepat.

Ini diungkapkan Epidemiolog dan Peneliti Senior Kamaluddin Latief. "Ini sebagai bagian dari proses skrining dalam upaya pengendalian pandemi COVID-19. Kebijakan wajib tes PCR untuk penerbangan domestik di wilayah Jawa-Bali (PPKM Level 4-1) dan luar Jawa-Bali (PPKM Level 4-3) adalah keharusan dan dibutuhkan," jelas Kamal melalui pernyataan.

"Jika mengacu kepada tes COVID-19, maka gold standard-nya (standar emas) adalah PCR. Hal ini yang harus dipahami oleh semua pihak."

Bahkan dia justru sangat menyarankan skrining tes PCR harus berlaku pada semua jenis moda transportasi, baik udara, laut dan darat.

Penguatan skrining pun penting dilakukan seiring dengan pelonggaran mobilitas dan ancaman lonjakan kasus COVID-19 gelombang ketiga.

"Kita juga melihat munculnya beberapa varian baru (Virus Corona) di luar negeri. Jadi, pelonggaran mobilitas, harus diiringi dengan penguatan upaya skrining," lanjutnya.

"Kebutuhan peningkatan skrining ini juga semakin penting karena Indonesia adalah negara kepulauan," pungkasnya.

Adanya skrining tes PCR juga harus didukung dengan peningkatan kualitas pelacakan (tracing) dan sistem kekarantinaan. Karantina dan protokol kesehatan harus tetap dilakukan dengan ketat dan konsisten.

"Sanksi terhadap pelanggar juga harus dijalankan. Intinya, kita berupaya agar bisa membuat sistem yang mendekati ideal, sesuai kapasitas optimal yang bisa kita lakukan," tegasnya.

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof. Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa meskipun tes PCR diberlakukan, potensi penularan virus Corona akan tetap ada.

Meskipun potensinya mungkin tidak besar, tetapi ketika ada antrean dan kerumunan, potensi penularan akan tetap ada.

"Di bandara berangkat itu ada antrian, tidak ada jaga jarak. Baik depan belakang, maupun kiri kanan. Sampai di pesawat, orang di kanan kiri saya makan buka masker. Bahkan waktu balik ke Jakarta, ada antrian lagi dan disuruh buka masker karena dicek foto KTP sama atau tidak," katanya.

Tjandra pun menjelaskan bahwa sebagai orang yang bepergian, dia pun berharap perjalanannya seaman mungkin. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan keharusan melakukan PCR tersebut.

 

 

4 dari 4 halaman

Pengusaha Khawatir

Kekhawatiran datang dari pengusaha. Mereka kompak menilai kewajiban PCR di semua moda transportasi akan lebih berdampak pada sektor pariwisata dan transportasi yang saat ini masih sulit untuk pulih akibat pandemi Covid-19.

Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono mengatakan syarat tes PCR yang saat ini masih cukup mahal akan membuat mobilitas masyarakat menjadi berkurang.

“Kalau dampaknya pasti mobilitas penduduk akan terhambat, karena biasa PCR kan mahal yaaa,” katanya kepada Liputan6.com, Rabu (27/10/2021).

Apalagi, saat ini industri sektor pariwisata termasuk hotel masih merangkak untuk bisa bangkit akibat dari pandemi Covid-19.

Sekjen DPP Organisasi Angkutan Darat (Organda) Ateng Haryono mengapresiasi rencana kewajiban tes PCR bagi para pengguna transportasi darat semisal bus antar kota antar provinsi (AKAP).

Menurutnya, regulasi itu bakal efektif untuk memitigasi angka penyebaran Covid-19 di sektor transportasi publik.

"Kalau PCR-nya dilakukan tegak lurus untuk orang yang bergerak di bukan dalam kota ya, terutama pergerakan luar kota, saya yakin akan efektif. Karena orang yang bergerak itu adalah orang yang didakwa benar-benar sehat. Itu pasti bagus," ujar dia kepada Liputan6.com.

Dengan catatan, Ateng meminta penegakan aturan itu harus diberlakukan sebagaimana mustinya, sehingga mencegah terjadinya kasus penularan baru dari para penumpang bus AKAP.

Namun, menurut dia usulan kebijakan wajib tes PCR itu masih meninggalkan pertanyaan. Sebab aturan itu masih belum menjangkau non-public transport, atau para pengguna kendaraan pribadi jarak jauh.

Padahal, Ateng menilai, potensi pemaparan Covid-19 di daerah-daerah rentan terjadi karena para pemilik kendaraan pribadi bisa berpergian jarak jauh tanpa harus tes PCR.

"Non-public transport itu jelas, mustinya mendapatkan perlakuan yang setara. Karena kalau kita bicara angkutan jalan, itu ditopang angkutan umum dan angkutan pribadi. Lalu angkutan pribadinya dilakukan enggak? Siapa yang bisa menjamin kalau angkutan pribadi pasti tidak terpapar? Dia terjamin kalau dia juga dites," serunya.

Berkaca pada pengalaman, Ateng bahkan mewaspadai munculnya angkutan umum ilegal atau travel gelap bebas berkeliaran. Dia buka kemungkinan jika nantinya banyak pemilik kendaraan pribadi yang turut menawarkan jasa travel untuk berpergian jarak jauh.

"Kenapa kok saya teriak angkutan pribadi juga perlu dilihat, karena pada praktiknya dari yang lalu-lalu selama pandemi, itu angkutan pribadi yang menyaru sebagai angkutan umum ramai pergerakan," ungkap dia.

"Artinya angkutan ilegal, mereka enggak pakai protokol. Mereka ngangkut penumpang seenak perut, dan itu terjadi," tegas Ateng.

Wajib PCR Harus dengan Tarif Murah

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti ketidaktransparanan pemerintah selama ini mengenai tarif PCR. Dengan demikian, tidak adil jika kemudian syarat PCR diwajibkan untuk seluruh moda transportasi.

"Berapa sesungguhnya struktur biaya PCR, dan berapa persen margin profit yang diperoleh oleh pihak provider? Ini masih tanda tanya besar," ujar Ketua YLKI Tulus Abadi.

Setelah Presiden memerintahkan untuk diturunkan harganya, Tulus menyarankan, maka pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap kepatuhan atas perintah tersebut.

"Sebab saat ini banyak sekali provider yang menetapkan harga PCR di atas harga yang ditetapkan pemerintah, dengan alasan PCR Ekspress, dengan tarif bervariasi, mulai dari Rp 650.000, Rp 750.000, Rp 900.000, hingga Rp 1,5 juta," ungkap Tulus.

Kemudian, terkait wacana bahwa semua moda transportasi yang akan dikenakan wajib PCR, hal tersebut dilakukan jika harga PCR bisa diturunkan lagi secara lebih signifikan, misalnya menjadi Rp 100.000.

"Sebab jika tarifnya masih Rp 300.000, mana mungkin penumpang bus diminta membayar PCR yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif busnya itu sendiri?," tutup Tulus.